A. Apa yang Mempengaruhi Pemikiran Manusia ?.
Pemikiran manusia idealnya akan selalu berkembang sesuai dengan zamannya, yang tentunya dengan tetap berpegang dengan sebuah standar yang telah disepakati ummatnya kususnya umat islam kesepakatan itu adalah tidak menyalahi dengan al qur’an dan hadits, namun memang masih ada sebagaian masyarakat muslim yang masih mengganggap pembaharuan adalah hal yang tabu(seolah-olah begitu berdosa untuk melawan sebuah konsep lama yang mungkin sudah tidak relavan lagi), dari sisi lain memang masih timbul suatu pertanyaan terhadap perubahan-perubahan yang dilakukan oleh para intelektual akhir-akhir ini, dimana mereka melakukan gebrakan pemikiran dan ide-ide mereka dengan menggunakan standar-standar yang bukan dirumuskan oleh kalangan dalam islam sendiri seperti contoh banyak kalangan islam merujuk pada pemikiran-pemikiran dan ide-ide dari barat, sebenarnya dari kalangan islam semdiri masih banyak yang bisa dijadikan rujukan terutama yang berhubungan dengan fikih-fikih klasik, namun dianggap jumud.
Jadi inilah tugas para intelektual kedepan, mempersatukan dua magnet pemikran, di Indonesia kususnya dengan mengkomukasikan berbagai kalangan sehingga ide-ide dan pemikiran-pemikiran tajdid dapat diterima oleh kalangan manapun. Tentunya dengan diterimannya ide-ide tersebut akan membentuk opini dan pemikiran masyarakat tentang pentingnya tajdid seperti yang telah dilakukan oleh para pembaharu, yang pada gilirannya akan mengubah pemikiran(konsepsi) manusia tentang pentingnya pembaruan dalam ilmu-ilmu keislaman.
Yang dapat mempengaruhi pemikiran manusia minimal ada tiga(3) macam yaitu:
1. Lahirnya tokoh-tokoh besar (seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al Afgan, Syah Waliyullah, Muhammad Rasyid Ridha dll).
2. Lahirnya gagasan-gagasan (ide-ide) dari para ahli di bidangnya (tokoh-tokoh besar).
3. Terjadinya bencana.
Inilah factor dominan yang menyebabkan terjadinya perubahan pemikiran dan ide-ide manusia, dengan hadirnya para tokoh-tokoh dan orang-orang yang memiliki gagasan dan mencoba melakukan pembaharuan juga terobosan terhadap berbagai kebekuan pemahaman yang ada dan dianggap sudah tidak relevan lagi, masih berkembang dalam masyarakat khususnya masyarakat islam.
Disini akan bahas satu persatu tentang faktor-faktor yang dapat mengubah konsepsi masyarakat.
1. Lahirnya Tokoh-Tokoh Besar
Banyak dari kalangan tokoh-tokoh Islam yang mencetuskan tentang pentingnya membentuk opini (pemikiran) masyarakat untuk malakukan pembaharuan dalam khazanah keislaman agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dunia, agar senantiasa islam akan selalu dinamis. yang paling terkenal dan spetakuler adalah gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Jamaluddin al afgan dia merupakan pioneer perubahan pemikiran, dan gerakan politik yang dilakukannya, sehingga lahir gerakan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat mesir, terhadap penjajah.
Disini akan dijelaskan gerakan pembaharuan (reformasi) yang dilakukan Jamaluddin al Afgan lebih jauh, jamaluddin al afgan, nama lengkapnya adalah jamaluddin al afgani as-sayid muhammad bin shafdar al husain, ia merupakan seorang pemikir islam, aktivis politik dan jurnalis terkenal, lahir di desa asadabad, distrik konar, afganistan, pada tahun 1838, dari segi keturunan ia masih terikat dengan cucu Rasulullah Husin bin abi Thalib, ayahnya adalah sayid safdar al hisainiyah yang nasabnya bertemu dengan sayyid al thurmidzi (seorang perawi hadist),kaluarganya adalah penganut mazhab hanafi, pada masa kecil dan remajanya dihabiskan di afganistan.
Pendidikan dasar diperoleh ditanah kelahiranya, pada umur 8 tahun al afgan telah memperlihatkan kecerdasanya, ia melanjutkan pendidikannya dikabul turkey tidak hanya mempelajari ilmu agama tetapi juga ilmu lainya, al afgan sangat tekun mempelajari bahasa arab, filsafat, matematika, fikih dan ilmu keislaman lainnya.
Pemikiran al afgani lahir sebagai akibat dari kebenciannya terhadap kolonialisme yang menjadikannya, perumus dan agitator paham serta gerakan nasionalisme dan pan islamisme yang gigih, dengan demikian al afgani menjadi seorang tokoh muslim yang mempengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi-aksi social pada abad ke-19 dan ke-20. Apa yang dilihat al afgani di dunia barat dan yang dilihat di dunia islam memberi kesan bahwa umat islam pada masanya sedang berada dalam kemunduran, sementara dunia barat dalam kemajuan, hal ini mendorong al afgan untuk menumbuhkan pemikiran-pemikiran (gagasan-gagasan) baru agar umat islam mencapai kemajuan, ia telah membawa pemikiran pembaharuan yang mempunyai pengaruh besar dalam dunia islam. Pemikiran pembaharuannya didasarkan pada keyakinan bahwa agama islam untuk semua bangsa, zaman dan keadaan. tidak ada pertentangan antara ajaran islam dan kondisi yang disebabkan oleh perubahan zaman.
Dalam pandangan al afgan bahwa jika ada pertentanga antara ajaran islam dengan kondisi zaman saat ini, harus dilakukan penyusuaian kembali dengan mengadakan interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran islam yang tercantun dalam al qur an dan hadist, untuk mencapai hal ini dilakuakn ijtihad dan pintu ijtihad menurutnya belum tertutup, gunannya adalah untuk menyesuaikan dengan kondisi.
Menurut pandangan al afgan ada beberapa hal yang menyebabkan kemunduran dalam Islam diantaranya adalah: umat islam telah dipengaruhi oleh sifat static, berpegang pada taklid, bersikap fatalis, telah meninggalkan akhlak yang tinggi dan melupakan ilmu pengetahuan, ini berarti umat islam telah meninggalkan ajaran islam yang sebenarnya menghendaki agar umat islam bersifat dinamis.
Sifat statis, menurut al afgan, telah membawa umat islam menjadi tidak berkembang dan hanya mengikuti apa yang telah menjadi hasil ijtihad ulama sebelum mereka, karena itu umat islam dinilai al afgan hanya bersikap menyerah kepada nasib.
Faktor lainya adalah adanya faham jabariah dan salah faham terhadap qada(ketentuan tuhan yang tercantum dalam lauh mahfuz). Faham itu menjadikan umat islam tidak mau berusaha dengan sungguh-sungguh dan bekerja giat. Menurut pemikiran al afgan qada dan qadar mengandung pengertian bahwaa segala sesuatu terjadi menurut sebab musabab(kausalitas). lemahnya pendidikan dan kurangnya pengetahuan umat islam tentang dasar-dasar ajaran agama mereka, lemahnya rasa persaudaraan mereka dan perpecahan umat islam yang diberagi dengan kekuasaan yang absolute, memercayakan kepemimpinan pada yang tidak dapat dipercaya, dan kurangnya pertahanan milter merupakan faktor yang ikut membawa kemunduran umat islam. Faktor-faktor ini semua menjadikan umat islam lemah, statis, fatalis, dan mundur.
Al afgan ingin melihat umat islam kuat, dinamis dan maju, jalan keluar yang ditunjukkannya untuk mengatasi masalah ini adalah melenyapkan pengertian yang salah yang dianut umat islam dan kembali kepada ajaran yang sebenarnya. Islam mencakup segala aspek kehidupan baik ibadah, hukum, maupun sosial. Corak pemerintahan otokrasi harus diubah dengan pemerintahan demokrasi dan persatuan umat islam harus diwujudkan.
Pemikiran lain yang dimunculkan afgan adalah idenya tentang persamaan antara pria dan wanita dalam bererapa hal. Wanita dan pria sama dalam pandangan nya. Keduanya mempunyai akal untuk berfikir. Dengan demikian al afgan menginginkan wanita agar meraih kemajuan dan bekerja sama dengan pria untuk mewujudkan umat islam yang maju dan dinamis.
Dengan ide-idenya hingga al afgan selalu diawasi kegiatannya oleh koloni ingris di afganista. ia memutuskan untuk pergi ke india pada tahun 1869 di india-pun al afgan mengalami hal sama pada akhirnya ia memutuskan untuk ke mesir, pada mulanya al afgan tidak berencana untuk terjun kedunia politik di mesir akan tetapi memusatkan perhatiannya pada dunia pendidikan, diantara muridnya yang terkenal adalah Muhammad abduh. Pada 1876 ia memutuskan untuk kembali kedunia politik di Mesir terutama karena ada pengaruh inggris dalam persoalan sosial di Mesir, dengan bergabung bersama para politisi Mesir, pada tahun 1879 al afgan membentuk sebuah partai politik dengan nama hizb watan ( partai kebangsaan), dengan partai ini ia memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan memasukkan unsur-unsur Mesir dalam militer. pada tahun 1883 ia diusir oleh panguasa Mesir dan dia memutuskan untuk pergi ke Paris selama di Paris ia mendirikan perkumpulan yang diberi nama al urwatus wusqa anggotanya terdiri dari orang-orang mesir, suriah, afrika utara dan lain-lain.
Di Paris ia bersama Muhammad anduh mendirikan sebuah jurnal berkala dengan nama al urwatus wusqa sebagai sarana untuk menyalurkan ide-idenya, publikasi ini bukan saja menggemparkan dunia islam tapi juga barat, sehingga jurnal ini dilarang beredar baik luar negeri terutama di mesir, india walaupun demikian jurnal ini tetap saja hadir ditengah masyarakat walaupun secara illegal.
2. Hadirnya gagasan-gagasan (ide-ide) dari para ahli di bidangnya (tokoh besar).
Menyimak apa yang diperjuangkan al afgan Nampaknya begitu lengkap, untuk menjelaskan apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan pemikiran manusia. al afgan bukan berjuang memperharui ide-ide keislaman dengan kepala kosong, tapi memiliki segudang langkah dan strategi untuk membuktikan pada dunia bahwa islam bukanlah agama yang jumud, ide-ide afgan sangat beragam namun yang paling menonjol adalah pemikirannya bidang politik yang menjadi cirri khas pergerakannya, gerakannya pembaharuannya ini dapat dilihat dari musuh-musuhnya terutama adalah kalangan negarawan atau politisi.
Lahirnya gagasan-gagasan al afgan ini terutama disebabkan keadaan sosial umat islam terus ditekan oleh kolonialisme Inggris, al afgan berusaha memberontak dengan segenap potensi yang ia miliki terutama ide-ide pembaharuan yang ia lakukan melalui jalur politik, dengan terlibat dalam partai politik.
4. Terjadinya Bencana.
Terjadinya bencana dapat juga dipahami dengan kenyataan kejumudan pemikiran sebab dengan kejumudan pemikiran akan menimbulkan berbagai efek bagi kelangsungan kehidupan manusia, baik dalam bidang sosial maupun yang lainnya, yang merupakan akibat dari kujumudan itu, sama hal nya akibat dari bencana alam yang meninggalkan trauma bagi korban. Ini merupakan salah satu alas an al afgan menganggap pentingnya penafsiran kembali terhadap pemahaman-pemahaman lama tentang teks-teks agama agar lebih relafan sehingga masyarakat islam tidak terjebak dalam bencana kejumudan pemikiran. Sebab islam itu adalah agama yang dinamis.
B. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Indonesia.
Membicarakan pendidikan islam diindonesia perlu kita merujuk kembali beberapa tokoh yang telah menyumbangkan pemikirannya bagi kemajuan pendidikan di Indonesia, banyak tokoh yang merumuskan pendidikan yang baik bagi masyarakat Indonesia yang bercorak ketimuran, tokoh-tokoh klasik (awal) pendidikan islam di Indonesia terdiri dari berbagai kalangan, diantaranya adalah;
K.H. Agussalim,
K.H. Hasyim Asyiari,
Muhammad Natsir,
K.H. Zarksyi,
K.H. Ahmad Dahlan,
terakhir adalah Harun Nasution.
1. Pemikiran siapa saja.?.
Banyak sudah sumbangan pemikiran tokoh-tokoh terkemuka yang begitu peduli terhadap pendidikan di Indonesia kususnya pendidikan islam dengan ke-khas-an ide mereka masing-masing yang tentunya telah memberikan warna dalam perkembangan pendidikan islam di Indonesia, sebagai contoh pertama kali proses pendidikan di Indonesia hanya dilakukan disurau-surau dengan metode halaqah, kemudian berubah dengan banyaknya pembaharuan yang dilakukan oleh beberapa tokoh, selain metode juga perubahan dalam lembaga pada masa awal prose belajar dilakukan hanya dipondok-pondok pesantren kemudian berubah, paling tidak ada dua hal yang menyebabkan perubahan sistim pendidikan ini disebabkan oleh:
a. Banyaknya masyarakat Indonesia yang melaksanakan ibadah haji, kemudian belajar di mekah dan ketika pulang mereka berkeinginan untuk menerapkan cara-cara belajar yang mereka dapatkan di mekah.
b. Pengaruh sistim pendidikan barat yang mempunyai program yang lebih terkoordinir dan sistimatis yang terbukti lebih berhasil.
Jika pada mulanya orientasi pendidikan islam hanya belajar al quran dan mengetahui pokok-pokok ajaran islam, maka dengan pemikiran-pemikiran baru ditambah dengan berbagai macam pelajaran yang mendukung misalnya bahasa arab dan ilmu hadits.
Demikianlah sistim klasikal pendidikan islam Indonesia, beberepa penggagas mencoba mendirikan sekolah dengan metode belajar yang sedikit berbeda, Zainuddin Labia, adalah salah orang yang pertama kali mendirikan sekolah diniyah pertama di padang yang merupakan perkembangan dari suarau jembatan besi, disini telah digunakan bangku, meja, papan tulis, selain itu dalam teknik pengajaran disekolah diniyah ini telah menggunakan system ko-edukasi pada tahun 1915. Sisten ini ternyata mendapat sambutan yang baik dari masyarakat, sehingga pada tahun 1922, berdiri 15 sekolah semacam ini di Minang kabau. Demikian juga sekolah tanpa nama dirumah K.H.Ahmad Dahlan di kauman Yogyakarta diubah mejadi hooger muhammadiyah school kemudian menjadi Kweekschool islam dan akhirnya menjadi madrasah mu’alimah muhammadiyah dan madrasah mu’alimat muhammadiyah untuk putrid.
Dari beberapa tokoh dan ide-ide mereka dalam membangun pendidikan kususnya pendidikan Islam di Indonesia maka kedua tokoh ini mempunyai peran yang sangat besar dalam merombak dan menawarkan sistim serta metode yang lebih modern dalam pendidikan Islam di Indonesia .
3. Apakah telah mencerminkan suatu kemajuan.?.
Jika kemajuan yang kita maksud adalah pembaruan dari yang lama ke yang baru, maka pendidikan di Indonesia telah mengali kamajuan dimasa itu, tapi jika kemajuan diartikan sebagai usaha menciptakan(creator) sebuah model mungkin belum sampai sebab para tokoh-tokoh diatas juga banyak mengambil(mencontoh) dari beberapa model pembelajaran misalnya arab dan barat. tapi paling tidak ini telah menunjukkan sebuah usaha sungguh-sungguh oleh para tokoh pendidikan dizamannya untuk bersaing, dan memberikan sebuah pemahaman baru terhadap system dan praktik pendidikan Islam di Indonesia saat ini.
C. Pemikiran Nurdin Ar Raniry dalam kontek Pembaharuan Pemikiran Indonesia.
Nama lengkapnya ialah Nurdin Muhammad bn ali bin hasanji bin Muhammad ar rananiry al quraisy asy syafi’i. beberapa penulis menulis bahwa Nurdin adalah seorang serjana india keturunan arab, dilahirkan di ranir (sekarang rander) yang terletak surat di gujarat.
Ditempat ini ia memulai belajar keislaman pada waktu itu sebelum ia melanjutkan ke tarim, arab selatan yang merupakan pusat agama islam waktu itu. Pada tahun 1030H(1621M), ia menuju mekah dan madinah untuk melaksanakan ibadah haji dan berziarah kemakan nabi. Setelah mempelajari ilmu islam secara mendalam nurdi pulang kembali ke india dan menjadi syekh dalam tarikat rifai’yah yang didirikan oleh ahmad rifai’I yang meninggal tahun 578H(1183M).pada usia 19 tahun ia menggantikan kakeknya sebagai guru agama dan syekh tarikat rifai’iayh didaerah itu.
Setelah membekali diri dengan pengalaman dengan pengalam pamanya, Ia langsung berlayar kepusat kerajaan Melayu, Aceh Darussalam. Namun pada masa ini Kerajaan Aceh sedang berada dalam puncak keemasannya dibawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Begitu juga dengan suasana keagamaan dikuasai oleh tokoh wujudiyah, Syamsuddin as-Sumatrani. Raja ini tidak saja menghormati dan menyegani syamsuddin tetapi juga menjadi murid dan pengikut wujudiyah yang taat.Tentu saja Nuruddin sebagai ahli tassawwuf orthodoks tidak mendapat tempat di sini. Ia pun meninggalkan kerajaan, Dengan melanjutkan pelayarannya dan singgah di negeri Melayu yang lain yaitu di Semenanjung Tanah Melayu tepatnya di negeri Pahang, tempat kelahiran Sultan Iskandar Thani. Di sini pula ia mulai menyebarkan ajarannya dan mendalami bahasa Melayu. Beberapa kitabnya lahir di tanah ini. Besar kemungkinan ia juga telah akrab dengan Sultan Iskandar Thani. Akhirnya datang juga hari yang telah ditunggu-tunggunya.
Dengan wafatnya Syamsuddin as-Sumatrani (1630M) dan disusul pula oleh Sultan Iskandar Muda wafat (1636M) suasana keagamaanpun berubah. Tidak beberapa lama sesudah Sultan Iskandar Thani naik tahta, maka pada 6 Muharram 1047 H/31 Mei 1637 Nuruddin pun menjejakkan kakinya di Kerajaan Aceh untuk yang kedua kalinya. Sekarang ia telah mendapat dukungan dari Sultan, dan ia pun melepaskan ide-idenya yang telah lama disimpan. Di hadapan Sultan dengan mudah ia mengalahkan kaum wujudiyah. Inilah langkah pertama Nuruddin, selain ingin menyebarkan ajarannya ia juga ingin mendapat tempat istimewa di sisi Sultan seperti posisi Syamsuddin di sisi Sultan Iskandar Muda. Ia pun mulai melancarkan aksinya dalam kitabnya Hujjat al-Siddiq li Daf al-Zindiq ia menuduh kaum tasawwuf di Aceh adalah zindik (sesat).
Ia menyerukan ulama-ulama di Aceh untuk meninggalkan ajaran wujudiyah dan bagi siapa yang tidak meninggalkan ajaran tersebut halal hukumnya untuk dibunuh. Maka pada tahun 40 an abad ke-17 ia membasmi pengikut wujudiyah serta memusnahkan kitab-kitab yang berkaitan dengan wujudiyah terutama karangan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani di halaman Mesjid Raya Baiturrahman. Kejadian ini, ditulisnya sendiri dalam kitab Tibyan fi Ma’rifat al-Adyan—hampir seperenam isi kitab ini adalah sanggahan terhadap pemikiran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin. Tidak hanya dua tokoh ini yang diserangnya tetapi ia juga menentang unsur-unsur Syi’ah yang terdapat dalam Hikayat Muhammad Hanafiah.
Seiring dengan berjalannya waktu kejayaan Nuruddin di Aceh tidak berumur panjang, setelah wafatnya Sultan Iskandar Thani (1644) dan digantikan oleh permaisuri Sultanah Safiatuddin (1641- 1675), ternyata dalam waktu bersamaan datang pula seorang ulama Minangkabau dari Mekkah bernama Saiful Rijal. Ulama ini merupakan salah seorang murid Hamzah Fansuri. Maka hangatlah kembali perdebatan kaum wujudiyah dengan Nuruddin. Kali ini perdebatan dimenangkan oleh Saiful-Rijal. Mengenai peristiwa ini diriwayatkan sendiri oleh Nuruddin dalam kitabnya Fathal-Mubin. Akibatnya Nuruddin terpaksa meninggalkan Aceh secara tergesa-gesa, sehingga tidak sempat menyelesaikan karangannnya yang berjudul Jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Ma’lum. Sejak peristiwa tersebut ia tidak pernah lagi kembali ke tanah Melayu ini. Dan akhirnya Ia wafat di kota kelahirannya, Ranir, tahun 1658. Walaupun Nuruddin seorang ulama yang penuh dengan pertentangan dan intrik, ia tetaplah seorang sufi agung dan pengarang yang produktif. Kita patut mencatatnya dengan tinta emas dalam perjalanan panjang sejarah rantau Melayu ini. Dalam rentang waktu yang tidak lama tersebut, setidaknya ia telah menghasilkan 17 kitab selama di Aceh dalam berbagai bidang—produktifitas yang sulit ditandingi oleh pengarang manapun. Karya Nuruddin di Aceh; Lata’if al-Asrar, Asrar al-Insan fi Ma’rifat al- Ruh wa’l-Rahman, Tibyan fi Ma’rifat al-Adyan, Akhbar al-Akhirah fi Ahwali ‘-Kiyamah, Hall al-Dzill ma’a Sahabihi, Ma’al–Hayat li ahl-Mamat,Jawahir al-‘Ulum fi Kasyf al-Ma’lum,Umdat al I’tikad, Syifa’al Qulub, Hujjatal-Siddiq li Daf al-Zindiq, Fath al-Mubin, Kifayat al-Salat, Muhammadat al-I’tikad, Bad’al-Khalq, Hidayat al-Iman dan Bustan al-Salatin. karya Nuruddin yang paling fenomenal adalah Bustan as-Salatin (Taman Raja- Raja) yang dikarang atas titah Sultan Iskandar Thani (1637). Karya besar ini dipengaruhi oleh kitab Tajal-Salatin (1603), Sulalat al- Salatin (1612) dan Hikayat Aceh (1636) yang memang telah wujud sebelum ia sampai ke Aceh .
Dari perjalanan sejarah yang telah dijelaskan diatas terutama tentang peran Nurdin ar Raniry dalam upaya membumikan pemikiran-pemikirannya memang perlu mendapat perhatian terutama dari karya-karyanya yang sangat beragam, yang menggambarkan ketinggian ilmu Nurdi ar Raniry, selain itu dalam kontek pemahaman pembaharuan memang benar adanya jika sebagian pemikir indonesia menggolongkan langkah-langkah Nurdin ar Raniry sebagai sebuah gerakan pembaharuan, cukup beralasan adanya, namun disisi lain sedikit kejanggalan karena jika dilihat dari sejarah diatas corak tasauf yang kemudian ditawarkan ar-Raniry adalah tasauf ortodoks, atau klasik. tapi paling tidak, bisa melihat dari gerakan-gerakan yang dilakukan ar raniry, telah membuka etika pembaharuan dalam kazanah pemikiran Islam Indonesia kususnya dalam bidang tasauf.
D. Ketidak beruntungan Islam di Indonesia selama Pemerintahan Orde Baru.
Tidak diberkannya kebebasan bagi agama-agama untuk mengaktualisasikan nilai-nilai agama dengan baik dan diakui oleh Negara, sebagai contoh tidak ditemukannya kebebasan bagi daerah adalah syari’at islam seperti aceh, juga tidak diberikan pengakuan terhadapan hari-hari besar agama.
E. Salah Seorang Tokoh Pemikir Muslim Indonesia.
Untuk menggali lebih dalam tentang tokoh-tokoh terkemuka dan intektual islam Indonesia, memang sangat mengagumkan ini dikarenakan di Indonesia tidaklah kurang pemikir-pemikir kususnya dari kalangan islam, sangat beragam dan multi disiplin ilmu. Namun disini akan ditelusuri tentang sosok tokoh yang tidak asing bagi masyarakat islam Indonesia umumnya dan Aceh kusunya yaitu Muhammad Hasbi Assiddiqie.
Tgk. Hasbi Assiddiqie begitu nama populernya, ia lahir di bagian utara aceh sekarang Nanggroe aceh Darussalam pada tanggal 10 maret 1904 dari kalangan keluarga yang sangat terhormat yaitu ulama sekaligus pejabat, ia terlahir dari keturunan ketiga puluh tujuh yang berhubungan dengan abubakar assiddieq, ayahnya adalah Tgk Amrah dan ibunya adalah seorang putrid dari seorang qadhi cik maha raja mangkubumi dan al hajj Tgk Muhammad husen Ibn Muhammad mas’ud.
Sejak umur delapan tahun ia telah mengukuti pendidikan dayah yang berada pada bekas pusat kerajaan pasai dahulu, selain itu pada umur tujuh tahun ia juga telah mengkhatamkan al qur’an, beberapa hal yang menarik dari hasbi adalah pertaman; dia bukanlah orang yang manja tapi merupakan orang haus ilmu dan sangat tekun dalam belajar, ini dapat dilihat dari beberapa keahliannya dipelajari secara otodidak, pendidikan formalnya hanya satu setengah tahun di sekolah al irsyad (1926), walaupun demikian ide-idenya patut mendapat perhatian terbukti dari reputasinya dimana ia dipercaya untuk menyampaikan makalah dalam internastional Islamic collogium yang diselenggarakan dilahore Pakistan(1958). sebelum belajar ditimur tengah dan menunaikan ibadah haji ia telah meneriakkan slogan-slogan pembaharuan. Kedua; ia berasal dari sebuah masyarakat yang sangat fanatic dalam beragama dengan demikian hasbi mendapatkan tantangan yang berat terutama dari kalangan yang berbeda dengan ide-idenya, sehingga ia ditawan dan diasingkan dari masyarakat. Ketiga; gaya berfikirnya yang agak aneh dianggap orang, yaitu ia berfikir dengan bebas dan tidak terikat oleh suatu golongan bahkan ia berani bertentangan dengan jumhur ulama, ini merupakan fanomena langka.
Pendidikan pertama didapatkah hasbi adalah di dayah-dayah yang dipimin langsung oleh ayahnya, pada umur 12 tahun hasbi merantau untuk melanjutkan pembelajarannya yaitu dengan belajar di beberapa dayah seperti dayah blang kabu yang dipimpin oleh Tgk Chik blang kabu, gedong. Kemudian ia juga melanjutkan ke dayah Tgk. Syik Blang Manyak Smakurok.di daerah kerajaan pasai dan lhoksumawe. kemudian hasbi belajar ilmu fikih di dayah yang di pimpin oelh Tgk.Chik Idris yaitu dipesantren samalanga, dengan sangat serius dengan manghabiskan waktu selama dua tahun. Selama 20 tahun hasbi menghabiskan waktunya untuk melakukan perjalan ke berbagai pesantren. Pengetahuan bahasa arabnya dipelajari dari seorang ulama berkebangsaan arab yaitu syekh Muhammad bin salam al khalili. Pada tahun 1926 ia berangkat kesurabaya untuk belajar di al irsyad. Al irsyad dan syekh ahmad sukardi yang juga pendiri organisasi tersebut turut memberikan pengaruh besar dalam membentuk pemikiranya yang modern dan ketika kembali ke aceh ia langsung bergabung dengan Muhammadiyah.
Pada masa liberal ia terlibat secara aktif dalam partai masyumi, pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan berkonsentrasi dalam bidang pendidikan, 1960 ia dipercayakan sebagai dekan fakultas syariah IAIN sunan kali jaga Surabaya, hingga tahun 1972. Pada tahun itu juga ia diangkat menjadi seorang guru besar(professor) dalam bidang ilmu syari’ah, selain di IAIN, ia juga pernah menjabat dekan di universitas sultan agung semarang dan Rektor universitas al Irsyad Surabaya.Puncak dari prestasi ilmiahnya adalah ketikan ia diberi gelar Doktor Honoris causa pada 22 maret tahun 1975, terakhir adalah gelar prof yang ia peroleh walau hanya seorang alumni dayah ini sebagai gambaran ketinggian usaha hasbi assiddiqie dalam belajar .
Karya-karya Hasbi yang sangat beragam dan tentang berbagai disiplin ilmu kususnya ilmu-ilmu keislaman, seperti: pengantar hukum islam, pengantar fiqh, hokum fiqh islam, fakta dan keanggunan syari’at islam,dinamika dan elastisitas hokum islam, tafsir annur, tafsir al bayan, pengantar ilmu al qur’an/tafsir, pokok-poko ilmu al-qur’an, sej. dan pengantar ilmu hadits, sejarah perkembangan hadits, problema hadits, mutiara hadits, dll.
Ide-ide atau gagasan hasbi dalam bidang agama sungguh luar biasa hingga walau idenya bertentangan dengan ulama dua organisasi besar islam (NU dan Muhammadiyah) di Indonesia tapi ia tidak merasa terbebani dengan kedua oraganisasi tersebut namun ia justru membuka kebekuan pemikiran dalam kedua organisasi tersebut.
Idenya yang sangat tidak populer bagi kalangan ulama pada waktu itu adalah pertama: gagasan tentang perlunya digagas fiqh yang bercirikan masyarakat Indonesia, kedua: adalah dalam hak asasi manusia, sebab menurutnya, allah telah menjadikan manusia sebagai khalifah dan memiliki posisi yang penting dan mulia, ia merujuk pada ayat al qur’an surat al isra’ ayat 70. Ketiga: perlunya ijtihad, sebab menurut hasbi bahwa syari’at islam itu ada yang berasal dari allah dan ada yang merupakan hasil ijtihad para mujtahid terhadap syariat islam tersebut, umat islam akhir-akhir ini menurutnya cendrung mangganggap absolute hasil ijtihad para mujtahid tersebut, walaupun kadang-kadang relevansi pendapat-pendapat imam mazhab itu perlu direlevansikan lagi dengan melakukan ijtihad, sehinggan syariat islam menjadi dinamis. Keempat: memfungsikan fiqh untuk menjawab tantangan zaman, sehingga syariat islam itu mampu menjawab tantangan zaman.
Untuk menerapkan ini menurutnya dibutuhkan langakah-langkah sebagai berikut; 1(satu). Menyusun kembali kitab fiqih sesuai dengan bentuk dan sistimatikanya sesuai dengan tuntutan masa kini. 2(dua). Menyusun kitab fikih hadits yang menjadi pedoman bagi pengkaji atau pencari hokum islam, yang lengkap segala bidangnya secara ringkas seperti kompilasi hokum islam. 3(tiga).Pembahasan peristiwa-peristiwa hukum yang timbul pada masa sekarang yang berhubungan dengan perkembangan masyarakat misalnya masalah riba, dalam kaitan dengan bank, lottre, seni dan lain sebagainya. 4(empat). Melakukan kajian perbandingan antara fiqh dengan hokum positif. untuk masalah penetapan hokum-hukum baru hasbi menyarankan adanya sebuah lembaga permanen yang anggotanya terdiri dari ahli-ahli hukum islam dan ahli-ahli ilmu sosial lainnya. Ketiga: adalah pemeliharaan al qur’an, pemeliharaan al qur’an yang telah dilakukan berbagai pihak sesuai dengan masanya seperti para sahabat, mufassir, maka untuk umat islam sekarang sudah sewajarnya untuk masyarakat yang talah mencapai tingkat kebudayaan yang tinggi maka dibutuhkan suatu tafsir yang bisa dicerna dan difahami, dan dapat melakukan ta’abut (bacaan al qur’an sebagai ibadah).dengan tadabbur (yaitu memahami isi dan maknanya).dengan demikian tugas ulama sekarang dalam memelihara al qur’an adalah : 1.(satu).Menyusun kitab tafsir yang sesuai dengan tingkat kecerdasan umat masa kini. 2 (dua). Mengumpulkan ayat-ayat sepermasalahan(maudhu’i). 3 (tiga).Menumpulkan ayat-ayat yang menerangkan keharaman sesuatu hal, dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut disertai dengan hikmah diharamkannya.
(Menelusuri Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam Indonesia)
A. Pendahuluan
Pemikiran pendidikan Islam selalu menjadi topik perbincangan hangat dari waktu ke waktu. Mulai dari munculnya Islam sebagai agama hingga terelaborasinya Islam menjadi objek studi dalam ranah pemikiran para cendekiawan muslim maupun orientalis. Mulai dari zaman klasik hingga – meminjam istilah Prof. Dr. Nur Cholish Madjid – zaman neo modernis. Pada tataran konsep pemikiran pendidikan, telah banyak dikaji secara parsial maupun komprehensif tentang apa, bagaimana dan kemana arah tujuan pendidikan Islam sesungguhnya, seiring sejalan dengan perkembangan konstruk sosial umat muslim tentunya dan perkembangan ilmu pengetahuan serta tuntutan zaman.
Pada mulanya pendidikan Islam berjalan secara alamiah, apa adanya, dalam arti belum tampak dinamika pemikiran tentang konsep pendidikan Islam. Pada zaman Rasulullah misalnya, sistem pendidikan, kurikulum (materi) maupun tujuan pendidikan menjadi kewenangan beliau. Belum ada seorangpun yang mampu memberikan masukan bahkan menentukan materi-materi pendidikan Islam. Materi pendidikan masih berkisar pada norma-norma ajaran al-Qur’an dan petunjuk al-Hadits mengenai bidang keagamaan, akhlak, kesehatan jasmani, dan pengetahuan kemasyarakatan.
Kenyatan tersebut terus berlangsung hingga akhir masa Dinasti Khulafaurrosyidin dan awal masa Dinasti Umayyah. Perhatian para khalifah maupun raja terhadap masalah pendidikan Islam terasa kurang. Para ulama’lah yang terus berjuang menelurkan konsep serta kebijakan pendidikan. Namun begitu, materi pendidikan terus berkembang hingga melahirkan berbagai macam disiplin ilmu keislaman lainnya. Mulai dari ilmu bahasa Arab, tafsir, mustholah hadits, fiqih, kalam, mantiq, falak, tarikh, kedokteran, sastra dan lainnya.
Meski dilihat pada perkembangan selanjutnya pendidikan Islam telah mengalami proses dinamika pemikiran yang sangat luas, unsur pendidikan moral pun tak luput dari kajian pembahasan para pemikir pendidikan Islam. Pendidikan moral sendiri kemudian menjadi semacam unsur permanen dalam sistem pendidikan Islam, setidaknya dalam penetapan kurikulum maupun pemantapan visi dan misi kependidikannya.Harun Nasution berpendapat, pendidikan moral merupakan titik tekan yang sangat signifikan dalam pendidikan Islam, karena ia merupakan salah satu inti dari ajaran agama Islam itu sendiri, selain juga pendidikan ke-teologis-an dan ke-ibadah-an.
Hal terpenting yang menjadi sorotan para pakar pendidikan Islam saat ini adalah tentang fenomena gejala kemerosotan moral masyarakat, baik orang dewasa maupun anak-anak pelajar, seperti penyelewengan, penipuan, perampokan penindasan, saling menjegal dan saling merugikan dan masih banyak perbuatan tercela lainnya.
Ironinya segala permasalahan tersebut di atas ditumpahkan kepada tanggung jawab para pendidik formal dalam mengatasinya. Meski kemudian para orang tua, ahli agama, ahli sosial dan ahli-ahli lainnya turut berkecimpung membahas akar permasalahan keburukan moral serta mengupayakan pencarian solusinya.
Terkait dengan peranan pendidikan dalam meningkatkan moralitas yang baik ini, banyak persoalan yang mesti dijawab oleh mereka. Diantaranya adalah: “dimanakah letak fungsi dan peranan pendidikan agama dalam meningkatkan akhlak dan moralitas bangsa? Adakah kesalahan yang telah dilakukan oleh dunia pendidikan? Dan bagaimanakah cara memperbaiki kinerja dunia pendidikan dalammengatasi permasalahan tersebut?”.
Seiring dengan bermuculan pertanyaan lain seputar pendidikan ini, para pakar pendidikan Islam berupaya secara konsisten memberikan pendapatnya terutama mengenai pendidikan moral. Diantara pakar tersebut adalah Harun Nasution, Nur Cholish Madjid dan Mukti Ali.
Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan kembali beberapa konsep pemikiran pendidikan para pakar tersebut di atas, yaitu yang terkait dengan permasalahan moral dalam dunia kependidikan. Konsep-konsep tersebut kemudian disajikan secara deskriptif-analisis dengan pendekatan perbandingan pemikiran dari berbagai ahli pendidikan baik dalam maupun luar negeri.
B. Pendidikan Moral dalam Perspektif Pemikir Islam
1. Pemikiran Pendidikan Moral Harun Nasution
Diakui dalam diskursus wacana cendekiawan muslim bahwa pada ranah pemikiran pendidikan ada hubungan keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan agama dan moral. Pendidikan Islam misalnya tidak terlepas dari upaya penanaman nilai-nilai serta unsur-unsur agama pada jiwa seseorang, yang diantaranya adalah nilai-nilai moral atau yang biasa disebut dengan Akhlaq.
Nilai-nilai moral yang dimaksudpun tidak terlepas dari ajaran-ajaran normativitas agama Islam seperti yang telah dicontohkan oleh Rasul. Rasulullahpun bersabda dalam sebuah Hadits bahwa Beliau diutus kepada manusia adalah untuk menyempurnakan akhlaq/moral manusia.
Tentang eratnya hubungan agama dengan moral ini kita dapat menganalisa dari keseluruhan ajaran agama Islam itu sendiri, bahwa akhirnya akan berujung pada pembentukan moral. Perintah mengucapkan dua kalimat syahadat misalnya yang merupakan inti awal masuknya seseorang ke dalam agama Islam, mengandung pesan moral agar segala ucapan dan perbuatannya dimotivasi oleh nilai-nilai yang berasal dari Tuhan dan Rasul-Nya, mencontoh sifat-sifatnya dan sekaligus diarahkan untuk selalu mendapat keridhaannya. Selanjutnya perintah shalat ditujukan agar terhindar dari perbuatan yang keji dan mungkar (lihat Q.S. al-Angkabut,2:183). Perintah zakat ditujukan untuk menghilangkan sifat kikir dan menumbuhkan sikap kepedulian (lihat Q.S. al-Taubah,2:103). Perintah ibadah haji ditujukan agar menjauhi perbuatan keji, pelanggaran secara sengaja (fasiq), dan bermusuh-musuhan (lihat Q.S. al-Baqarah,2:197).
Kaitannya dengan uraian di atas Harun Nasution kemudian berkesimpulan bahwa sebenarnya ajaran normativitas agama Islam terdiri dari dua dimensi pokok yaitu: masalah-masalah ke-Tuhan-an atau ketauhidan dan masalah-masalah kebaikan serta keburukan atau moral.
Dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam ini maka diperlukan seperangkat proses maupun aturan sebagai media transformasi sekaligus internalisasi nilai-nilai ketauhidan dan moral yang dimaksud berupa proses dan perangkat pendidikan Islam. Perangkat pendidikan Islam harus memiliki beragam komponen di antaranya adalah pendidik, orang yang akan dididik, materi, tujuan, metode dan lain sebagainya.
Tujuan pendidikan Islam menurut Harun Nasution adalah untuk membentuk manusia yang bertaqwa, yang mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Bertaqwa yang dimaksud adalah seperti apa yang digambarkan dalam al-Qur’an yaitu, mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, menginfakkan sebagian rezeki, beriman kepada Al-qur’an dan kitab-kitab yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya serta yakin akan adanya hari kiamat (lihat Q.S. al-Baqarah,2:3-4).
Dari konsep tersebut akan dapat kita tangkap bahwa tujuan pendidikan Islam mengindikasikan kearah dua kutub yang berbeda namun saling berkaitan yaitu, di samping mengutamakan ketauhidan dengan segala persoalannya (teosentris), tetapi juga mengakomodasi pentingnya peran moral manusia dalam berinteraksi dengan jenisnya (humanis).
Tentang dua indikasi ini Harun Nasution berpendapat bahwa pendidikan Islam sebaiknya memiliki bahan/materi pendidikan yang secara umum didasarkan pada tujuan spiritual, moral dan intelektual, yang kemudian oleh pakar pendidikan disebut dengan istilah Kecerdasan Spiritual, Intelektual, dan Emosional.
Meski begitu, Harun Nasution melihat lebih pentingnya penekanan terhadap aspek pendidikan moral. Pendapat tersebut mengisyaratkan beberapa kemungkinan bahwa pendidikan moral akan dengan sendirinya mengarahkan manusia kepada konsep tauhid dalam Islam. Bahwa dengan aturan moral dapat ditarik hikmah akan adanya pencipta yang mengatur segalanya di bawah satu Pengatur yaitu Tuhan. Dan juga bahwa pendidikan moral merupakan bentuk lain dari pendidikan tauhid. Sampai di sini kiranya apa yang ingin ditafsirkan oleh Harun Nasution tentang hadits “Bu’itstu li utammima makaarimal akhlaaq”.
Pendapat ini seperti juga yang disampaikan oleh Ibn Miskawaih bahwa letak keutamaan pentingnya pendidikan moral adalah dalam urgensi nilainya yang cukup signifikan dalam membentuk kepribadian manusia. Bahwa semua krisis yang melanda manusia termasuk di dalamnya krisis spiritual lebih disebabkan oleh hancurnya pendidikan Akhlak. Minusnya moral (akhlaq) ini akan membuat predikat manusia yang mulia – dengan akhlaq dan taqwa – turun menjadi hina (lihat Q.S. al-Tin,95:5).
Karena penekanan pendidikan Islam adalah pendidikan moral, maka metode yang dipakai menurut Harun sebaiknya :
1. Pemberian contoh dan teladan
2. Pemberian nasehat
3. Pemberian bimbingan / tuntunan moral dan spiritual
4. Kerjasama antara tiga komponen pendidikan yaitu; sekolah, rumah (keluarga), dan lingkungan (masyarakat)
5. Tanya jawab dan Diskusi
6. Kerjasama dengan pihak lain
Agar metode tersebut dapat berjalan dengan baik dan benar maka perlu untuk memperhatikan kondisi para pendidiknya. Kualitas pendidik Islam harus mencerminkan pendidik yang bertanggung jawab, penuh wibawa, cerdas, tangkas, beriman dan memiliki wawasan yang luas. Menurut Harun kualitas para pendidik Islam setidaknya memiliki kriteria :
1. Sanggup memberi contoh
2. Menguasai ilmu-ilmu pendidikan
3. Menguasai pengetahuan yang luas tentang agama
4. Menguasai pengetahuan umum
Kemudian apabila melihat kepada anak didik, Harun Nasution berpendapat bahwa pendidikan Islam yang menekankan pentingnya pendidikan moral ini harus dilaksanakan sejak anak masih bersih kalbunya dan belum ternodai oleh kebiasaan-kebiasaan tidak baik, kerena menurutnya apabila sudah ternoda akan susah untuk menghilangkannya.
Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ali Asyraf bahwa pendidikan moral harus ditanamkan terhadap seorang anak sejak dari tahap awal sekali walaupun realisasi spiritual yang sebenarnya merupakan pencapaian terakhir. Artinya pendidikan moral diusahakan dilaksanakan semenjak anak masih dini dan belum terlalu mengenal kehidupan lingkungan yang begitu luas.
Emile Durkhiem pun berpendapat demikian, bahwa kondisi perkembangan intelektual anak-anak usia dini masih belum sempurna. Begitu juga kehidupan emosinalnya masih terlalu sederhana dan belum berkembang. Nah pada tahap inilah penanaman aspek dasar pendidikan moral sangat dipentingkan untuk dapat diserap oleh mereka. Sebaliknya apabila telah melewati tahap usia dini tetapi belum diletakkan dasar-dasar moral kepada mereka, maka dasar-dasar moral itu tidak akan pernah tertanam dalam diri si anak.
Sampai di sini Harun Nasution kemudian menekankan pentingnya penekanan terhadap terminologi pendidikan itu sendiri dari sekedar pengajaran moral Islam. Hal tersebut penting karena di masyarakat telah terjadi salah kaprah tentang pendidikan itu sendiri. Titik tekan pendidikan moral diletakkan pada bagaimana si anak terdidik berpengetahuan moral, bukan bertujuan bagaimana mereka memiliki jiwa yang sangat bermoral secara Islami.
2. Pemikiran Pendidikan Moral Nur Cholish Madjid
Lain halnya dengan Harun Nasution, Nur Cholish Madjid menyoroti lebih tajam tentang pendidikan moral dalam perspektif pendidikan Islam. Ia berpendapat bahwa penekanan pendidikan moral harus lebih diarahkan pada bagaimana membentuk manusia dapat saleh secara maknawi dan bukan hanya saleh lahiri. Kaitannya dengan ini Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah tidak melihat kondisi lahiriah manusia tetapi lebih melihat kondisi batinnya (lihat Q.S. an-Najm,53:32 dan an-Nisa’ 4:49). Kesalehan maknawi yang dimaksud adalah kemuliaan moral yang tampak sangat melekat pada pribadi seseorang tanpa terjebak maupun dijebak oleh keadaan-keadaan formalitas masyarakat sekelilingnya. Dalam konteks pendidikan Islam kesalehan maknawi ini merupakan wujud dari akhlaqul karimah atau akhlaq mulia.
Lebih lanjut akhlaq mulia dalam dimensi yang lebih luas berkaitan dengan prinsip-prinsip inklusivisme keagamaan (wajib beriman), kosmologi (paradigma optimis-positif kepada alam, yang juga berkaitan dengan teori ilmu yang benar), antropologi (pandangan manusia sebagai makhluk tertinggi dengan hak-hak asasinya, yangdilahirkan dalam fitrah dan bersifat hanif).
Kemudian berkenaan dengan kesalehan maknawi ini, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah bagaimana cara membuat para calon terdidik dapat beramal saleh dengan sebanr-benarnya tanpa terjebak ke dalam kehidupan pragmatisme. Seperti yang telah menjadi rahasia umum bahwa dalam kondisi sosial masyarakat yang serba modernis, hedonis, pragmatis seringkali menyebabkan keguncangan jiwa masyarakat itu sendiri, yang akhirnya mengakibatkan tampilnya secara subur simbol-simbol keagamaan formal dan penampilan-penampilan keagamaan lahiriah, sehingga kesalehan lahiripun mengecoh orang banyak. Jawabannya sulit memang tetapi dengan kesungguhan usaha dari para pendidik diharapkan akan mampu diwujudkan para calon terdidik dengan kesalehan yang diharapkan.
Untuk itu, diantara yang perlu dipersiapkan adalah para calon terdidik yang benar-benar excellent dalam pendidikan Islam, yang diantaranya mampu mencerminkan sifat-sifat yang dimiliki oleh Rasulullah yaitu; shiddiq, amanah, tabligh, fathonah. Dalam hal ini kesulitan yang menghadang adalah bahwa paradigma para calon terdidik telah dikungkung oleh pandangan umum akan rendahnya kualitas studi-studi keagamaan sebagai akibat dari padangan “modern” saat ini, gengsi keagamaan khusus merosot tajam, karena dianggap tidak mampu memberi “janji kerja” (promise job) yang memadai dan lain sebagainya.
Di lain hal kebutuhan akan tenaga pengajar yang benar-benar profesional di bidangnya, terutama pendidikan moral ke-Islaman, sangat jarang ditemukan. Yang ada hanyalah tenga pengajar yang terjebak ke dalam mind set nya sendiri akan ajaran-ajaran dogmatis yang kaku dan tidak dapat menarik perhatian.
Melihat kesulitan-kesulitan di atas, ada beberapa solusi pemecahan alternatif sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Abuddin Nata yaitu: pertama, pendidikan agama yang dapat menghasilkan perbaikan moral harus dirubah dari model pengajaran agama kepada pendidikan agama. Kedua, pendidikan moral dapat dilakukan dengan pendekatan integrated, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Ketiga, sejalan dengan cara yang kedua tersebut, pendidikan moral harus melibatkan seluruh guru. Keempat, pendidikan moral harus didukung oleh kemauan, kerjasama yang kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari keluarga/rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Kelima,pendidikan moral harus menggunakan berbagai macam kesempatan, berbagai sarana teknologi modern dan lainnya seperti kesempatan berekreasi, berkemah, sarana masjid, surat kabar, radio, televisi dan lain sebagainya.
3. Pemikiran Pendidikan Moral Mukti Ali
Secara umum, Mukti Ali menyoroti masalah etika, akhlaq atau moral lebih pada bagaimana ia dapat diakses dan diterapkan oleh golongan pelajar yang terbagi dua yaitu, golongan intelektual atau cendekiawan dan kaum praxis. Menurutnya kaum cendekiawan dengan kemampuan intelektualnya harus memiliki nilai-nilai moral dalam setiap ranah intelektual pengetahuannya. Ide-ide, konsep-konsepnya harus bisa lebih mendorong mereka untuk perbaikan-perbaikan, penyempurnaan-penyempurnaan dari sebuah keadaan yang sekarang dialami. Hal ini bukan berarti keadaan sekarang tidak lebih baik, tetapi bagaimana kegelisahan para cendekiawan tersebut dapat memberi sumbangan berarti terhadap keadaan moral masyarakat ke arah yang lebih baik. Untuk itu, menurut Mukti Ali, salah satu syarat seorang cendekiawan terutama cendekiawan muslim adalah bahwa ia harus memiliki kecakapan untuk melahirkan pikiran-pikiran tentang moral dalam kata-kata, baik lisan maupun tulisan.
Sedangkan kepada golongan praxis, yang lebih dituntut adalah bagaimana ia dapat menerapkan praktek moral dalam kehidupan sehari-hari, yang sangat berkaitan dengan hal-hal yang kongkrit. Lebih jauh tugasnya adalah melakukan tindakan-tindakan untuk mengatasi persoalan-persoalan empirik.
Sampai di sini, menurut hemat penulis, sebenarnya perbedaan antara kaum intelektualis dan kaum praxis ini hanyalah memiliki fungsi untuk memisahkan bidang garap masing-masing kaum itu sendiri, tidak lebih pada bagaimana keduanya sama-sama memiliki peran yang signifikan dalam proses kehidupan bermoral di masyarakat. Atau lebih jelasnya pemisahan itu untuk memberikan batasan-batasan peran masing-masing dalam memberikan sumbangan manfaat ke dalam kehidupan berinteraksi sosial. Untuk itu maka perbedaan tersebut mungkin lebih dikenal sebagai perbedaan dialektis daripada perbedaan dikotomis.
Perbedaan dialektis yang dimaksud adalah bahwa titik temu kedua terminologi tersebut adalah bahwa kaum intelektualis dengan kritik sosial dan ide-ide moralnya dapat mampu menyumbangkan hal yang bermafaat dalam tataran praxis. Dan bahwa kaum praxis dengan sendirinya akan memberikan sumbangan berharga bagi pengamatan-pengamatan yang dilakukan oleh kaum intelektualis.
Kemudian keluar dari permasalahan tersebut, seperti pendapat para cendekiawan muslim lainnya, Mukti Ali tidak menafikan akan adanya hubungan ‘organik’ antara pendidikan agama dan moral. Bahwa sistem agama, yang berupa oerientasi nilai, keyakinan, norma hukum, juga mempunyai saham yang tidak kecil dalam membentuk watak dan tingkah laku seseorang.
Lebih jauh menurutnya fungsi pokok agama adalah mengintegrasikan hidup. Bahwa agama dengan nilai-nilai moralnya amat diperlukan dalam kehidupan manusia. Contoh kecil dari hubungan agama dan moral ini dapat dilihat dari fenomena dewasa ini tentang kekhawatiran masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial yang merugikan akhlak atau moral di kalangan penduduk kota-kota besar. Dalam hal ini nilai-nilai moral dalam agama dirasa penting untuk diterapkan.
Dalam Islam, al-Qur’an misalnya menginginkan untuk menegakkan kehidupan masyarakat yang egaliter, baik sosial,politik dan sebagainya yang ditegakkan pada dasar-dasar etika. Hal tersebut dapat dilihat dari ayat-ayat yang menyiratkan tentang “memakmurkan bumi” atau “menjauhi kerusakan di dunia”. Juga dapat dilihat dari ayat tentang tugas manusia yang dinyatakan dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sampai di sini semakin jelalah akan adanya hubungan yang tak teroisakan antara nilai-nilai agama yang diinternalisakan kepada manusia dengan pendidikan agama dengan pendidikan moral.
C. Penutup
Sampai pada akhir tulisan ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa para pemikir Islam kontemporer tersebut di atas memiliki kesamaan visi dalam memandang pendidikan moral dalam perspektif pendidikan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat bahwa pendidikan agama dan moral sangat memiliki hubungan yang erat. Dan bahwa apapun bentuk interaksi sosial manusia tentu tidak terlepas dari perilaku moral atau etika dan akhlaq.
Berangkat dari kesamaan visi tersebut, maka cita-cita pemikiran pendidikan Islam kontemporer mengedepankan pentingnya mendasari setiap bentuk pendidikan di atas bangunan moral yang tinggi.
Kiranya demikian tulisan ini penulis sampaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lamu bisshowab.
DAFTAR PUSTAKA
• Ali, Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini. Jakarta: Rajawali, 1987
• Asyraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989
• al-Kahlani, Imam, Subul al-Salam, Jilid I, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1954, h.231 dalam Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendididkan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2003
• Durkheim, Emile, Pendidikan Moral, Jakarta: Erlangga, 1999
• Madjid, Nur Cholish, Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (Ed) Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Logos, 2002
• Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1998
• Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendididkan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2003
• Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2004
PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN
SUNAN KALIJAGA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi Tugas dan Syarat-syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Pada Fakultas Agama Islam Jurusan Tarbiyah
Oleh :
T U T I K S U P I Y A H
NIM. G.000.000.013
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2007
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam merupakan penataan individual dan sosial yang
dapat menyebabkan seseorang tunduk dan patuh pada Islam serta
menerapkannya secara sempurna di dalam kehidupan individu dan masyaakat.
Berdasarkan makna ini maka pendidikan Islam berupaya untuk
mempersiapkan diri manusia agar dapat melaksanakan amanat yang
dipikulnya yaitu sebagai khalifah Allah SWT yang bertugas memakmurkan
bumi, sebagai hamba Allag SWT berkewajiban untuk mengabdi dan beribadah
semata-mata hanya kepada Allah SWT.
Islam sebagai agama yang mengandung konsep-konsep, wawasanwawasan,
dan ide-ide dasar yang memberi inspirasi terhdap pemikiran umat
manusia sekaligus sebagai sistem peradaban mengisyaratkan betapa
pentingnya pendidikan. Isyarat ini dijelaskan dari berbagai muatan dalam
konsep ajarannya salah satu diantaranya melalui pendekatan filosfis, ilmu
pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan
yang didasari oleh nilai-nilai Islam menurut konsepsi filosofi yang
bersumberkan pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW (Arifin,
2000:109).
Islam adalah agama yang memberikan dorongan yang begitu besar
terhadap pendidikan yang mengajarkan kepada manusia mengenai berbagai
2
kehidupan baik duniawi ataupun ukhrawi. Salah satu ajaran Islam tersebut
adalah mewajibkan kepada manusia untuk melaksanakan pendidikan.
Islam merupakan syari’at Allah SWT bagi manusia yang dengan bekal
Syari’at itu manusia beribadah, agar manusia mampu memikul dan
merealisasikan amanat besar itu, syari’at itu membutuhkan pengalaman,
pengembangan dan pembinaan. Pengembangan dan pembinaan itulah yang
dimaksud dengan Pendidikan Islam. Seperti halnya tercantum dalam surat Al-
Ahzab : 72.
Pendidikan sebagai suatu proses dalam pandangan filsafat pendidikan
Islam, sebagaimana tidak dapat dilepaskan dari keterkaitan dengan fitrah
manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Dengan demikian pendidikan
pada hakikatnya adalah rangkaian bimbingan dan pengarahan hidup manusia
berupa kemampuan-kemampuan dasar (potensi fitrah) dan kemampuan ajar
(Intervensi), sehingga terjadi perubahan dalam kehidupan pribadinya baik
dalam statusnya sebagai makhluk individu sosial serta hubungannya dengan
alam sekitar dimana ia hidup (M. Arifin, 1994 : 14). Proses tersebut senantiasa
harus berada dalam nilai-nilai Islam yaitu nilai-nilai yang melahirkan normanorma
Syari’at dan Akhlaq al Karimah.
3
Pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup
seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba-hamba Allah SWT
(Nur Uhbiyati, 1997 : 12).
Menurut Solicin bahwa membicarakan tentang Wali Sanga berarti
membicarakan mengenai Islam di tanah Jawa. Oleh karena Wali Sangalah
yang mempelopori dakwah Islam di bumi Jawa. Wali Sanga dianggap sebagai
tokoh-tokoh sejarah kharismatik yang membumikan Islam di tanah Jawa yang
sebelumnya berkembang bersama tradisi Hindu-Budha (Purwadi, 2003:33)
Kata wali berasal dari bahasa Arab itu artinya dekat atau kerabat, atu
teman. Dalam Al-Qur’an istilah ini disebutkan dalam surat Yunus : 62 dan
Al-Baqarah : 257.
Menurut Efendy (dalam Purwadi, 2003 : 39) kata “wali” menurut
istilah, ialah sebutan bagi orang-orang Islam yang dianggap keramat, mereka
adalah penyebar agama Islam. Mereka dianggap manusia suci kekasih Allah,
orang-orang yang sangat dekat dengan Allah, yang dikaruniai tenaga ghaib,
mempunyai kekuatan-kekuatan batin yang sangat berlebih, mempunyai ilmu
yang sangat tinggi, sakti berjaya-kejiwaan.
4
Menurut Hadiwiyono, kata sanga menurut pendapat Mohammad
Adnan adalah perubahan dari kata sana yang berasal dari kata Arab “tsana”
berarti sama dengan mahmud yang terpuji. Jadi Wali Sana artinya wali-wali
terpuji. Pendapat Raden Tanoyo (pengarang kitab Wali Sanga). Hanya saja
Tanoyo mengartikan sana bukan hanya terpuji tetapi tempat (Purwadi,
2003:39).
Di antara Wali Sanga itu adalah merea Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan
Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat
yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat,
bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid (Rahimsah,
2002 : 5).
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam
penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri
sebagai “tabib” bagi kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para
kolonialis sebaagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta
karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat
Jawa yakni Hindu dan Budha (Purwadi, 2003: 73).
Tokoh wali yang sangat banyak mengandung misteri adalah Sunan
Kalijaga. Ia salah seorang wali yang mulus berdarah Jawa. Bapaknya bernama
Ari Teja, perdana Menteri Majapahit pada masa Bhre Kertabumi Brawijaya V,
yang juga menjabat adipaati di Tuban dengan gelar Ki Tumenggung
Wilwatika.
5
Sebagai penyeru agama, Sunan Kalijaga termasyur ke mana-mana. Ia
seorang mubalig keliling yang daerah operasinya sangat luas. Pengikutnya
tidak terbatas pada satu dua golongan saja. Banyak kaum bangsawan serta
kaum cendikiawan yang tertarik kepada tablignya, karena dalam berdakwah ia
amat pandai menyesuaikan diri dengan keadaan. Ia berusha mengawinkan adat
istiadat Jawa dengan kebudayan Islam, dan menjadikannya media untuk
meluaskan syiar Islam.
Dalam kisah kewalian, Sunan Kalijaga dikenal sebagai orang yang
menciptakan “pakaian takwa”, tembang-temang Jawa, seni memperingati
Maulid Nabi yang telah dikenal dengan sebutan Grebed Mulud. Upacara
Sekaten (syahadatain, mengucapkan dua kalimat syahadat) yang dilakukan
setiap tahun untuk mengajak orang Jawa masuk Islam adalah ciptaannya
(Achmad Chodjim, 2003 : 13).
Salah satu karya besarnya Sunan Kalijaga adalah menciptakan bentuk
ukiran wayang kulit yang bentuknya dirubah sedemikian rupa, sehinga tidak
menyalahi hukum Islam. Tembang-temang yang diciptakan Sunan Kalijaga
sebenarnya merupakan ajaran makrifat, ajaran mistis, dalam agama Islam.
Meski banyak tembang yang telah diciptakannya, tapi hanya tembang ilir-ilir
yang dikenal oleh masyarakat Jawa. Tembang ini diajarkan kepada anak-anak
SD di Jawa. Sudah barang tentu tembang-tembang tersebut dimaksudkan
untuk tujuan dakwah. Tembang ini sekalipun termasuk jenis “tembang
dolanan” namun bila direnungkan secara dalam, syair tersebut sangat indah
6
dan mengandung nilai dakwah Islamiyah yang tinggi nilainya (Surya Alam,
tt:3).
Pada saat ini keseniang wayang, tembang Ilir-ilir, upacara sekaten dan
gerebeg maulud masih digemari oleh masyarakat walaupun hanya sekedar
untuk ajang hiburan saja. Akibatnya seni dan budaya Jawa yang bernuansa
Islamiah ini tertinggal jauh dibandingkan dengan mdia dan teknologi modern
yang tengah merajalela. Hal ini banyak pengaruh negatif yang dapat
mencemari jiwa dan akhlak masyarakat, seperti adanya lagu-lagu barat, disco,
bioskop-film yang banyak digemari anak-anak muda sekarang. Untuk itu kita
harus melestarikan kembali seni dan budaya tersebut dengan melalui
pendekatan-pendekatan yang halus tanpa paksaan agar masyarakat menjadi
tertarik kembali.
Berangkat dari uraian tersebut diatas, penulis merasa sangat tertarik
dan berminat untuk mengadakan studi secara mendalam tentang pendidikan
Islam menurut pemikiran Sunan Kalijaga sebagai objek kajian utama dalam
penelitian. Terutama caranya berdakwah, yang dianggap berbeda dengan
metode para wali yang lain. Dia berani memadukan dakwah dengan seni
budaya yang mengakar di masyarakat. Ia tidak melakukan konfrontasi dengan
budaya yang mengakar di masyarakat. Ia tidak melakukan konfrontasi dengan
budaya masyarakat yang ada melainkan dengan “tapa geli” (mengikuti aliran
air) dengan kebiasaan yang berlaku dan memberi baju Islam atau memberi
pesan-pesan keislaman. Dengan demikian andil dan peranan Islam dalam
membentuk kebudayaan Islam di Indonesia pada masa lalu hingga sekarang
7
sangat besar, bahkan telah memberikan corak khusus bagi pendidikan Islam.
Penulis berharap agar nantinya dapat memberikan gambaran yang jelas
tentang pendidikan Islam yang tidak hanya bersifat teori tapi juga bernilai
praktis dan akhirnya dapat membantu melahirkan generasi-generasi sholeh
dan sholehah dalam mengembangkan kehidupan dunia akhiratnya di atas
landasan iman dan taqwanya kepada Allah SWT.
B. Penegasan Istilah
Untuk memberi gambaran yang jelas dan menghindari kesimpang
siuran dalam memahami arti dari masing-masing istilah serta untuk
memudahkan dalam memahami maksud dari judul ini, maka penulis
menegaskan terlebih dahulu masing-masing istilah yang terdapat dalam judul
di muka:
1. Pendidikan Islam
Menurut Mohd-Fadli Al-Djamaly (dalam Arifin, 2000 : 17)
pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada
kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai
dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarannya (pengaruh
dari luar).
2. Pemikiran
Pemikiran: bersal dari kata “fikir” yang berarti akal budi, ingatan,
kata hari, pendapat. Kata fikir jika di tambah akhiran “an” yang berarti
hasil berfikir (memikirkan) jika di tambah awalan “pe” dan akhiran “an”
8
menjadi pemikiran yang artinya cara atau hasil berfikir (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1991: 767). Yang dimaksud pemikiran dalam skripsi ini
adalah hasil dari proses berfikir yang ditampilkan dalam berbagai bentuk
yang tertuang dalam buku-buku pendidikan Islam menurut pemikiran
Sunan Kalijaga.
3. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah salah satu wali yang sangat terkenal bagi
orang jawa. Ketenaran wali ini adalah karena ia seorng ulama yang sakti
dan cerdas. Ia juga seorang politikus yang “mengasuh” para raja beberapa
kerajaan Islam. Selain itu Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai budayawan
yang santun dan seniman wayang yang hebat (Purwadi, 2003 : 150).
Kalijaga artinya yang menjaga aliran sungai. Ada yang
mengartikan kalijaga sebagai orang yang menjaga aliran kepercayaan
masyarakat pada masa itu. Sunan Kalijaga sangat halus dalam berdakwah,
dia tidak langsung menunjukkan sikap anti pati terhadap kepercayaan
masyarakat pada zaman itu, semua aliran didekati, dipergauli yang
kemudian pada akhirnya diarahkan kepada agama Islam (Surya Alam, tt,
30).
Setelah mengetahui arti dan istilah-istilah di atas, maka maksud
dari judul skripsi “Pendidikan Islam Menurut Pemikiran Sunan Kalijaga”
adalah semua hal yang penting dan berguna bagi proses pendidikan Islam
yang terdapat dalam pemikiran Sunan Kalijaga.
9
Dari pemahaman yang mendalam terhadap pemikiran tersebut
diharapkan dapat ditarik hikmah untuk dijadikan pedoman
aktivitaspendidikan, khususnya pendidikan Islam sekarang. Dengan
demikian andil dan peranan Islam dalam membentuk kebudayaan Islam di
Indnesia khususnya kebudayaan Jawa pada masa lalu hingga sekarang
sangat besar, bahkan telah memberikan corak khusus bagi pendidikan
Islam.
C. Rumusan Masalah
Dengan berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis
dapat merumuskan masalah yang akan ditelaah adalah: Bagaimana pendidikan
Islam menurut pemikiran Sunan Kalijaga?.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitiaan ini bertujuan untuk mengetahui dan meneliti lebih
dalam dan luas tentaang Pendidikan Islam Menurut Pemikiran Sunan
Kalijaga.
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi pendidikan, sebagai sumbangan terhadap khazanah ilmu
Pengetahuan Islam.
b. Bagi Dakultas Agama Islam jurusan Tarbiyah, menjadi literatur
tazmbahan dalam pendalaman pengajaran pendidikan Islam.
10
c. Bagi peneliti, dengan melakukan penelitian ini berari memperluas
wawasan dan mendalami bidang yang menjadi pilihan spesialisasinya
yaitu program Pendidikan Agama Islam.
E. Tinjaun Pustaka
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan Diwi
Rahmawati (2001) dalam skripsi dengan judul “METODE PENDIDIKAN
RASUSULLAH SAW DALAM PEMBENTUKAN PRIBADI MUSLIM”
(Tinjauan kritis Nabi periode Makkah) menjelaskan bahwa:
Pendidikan adalah satu proses dan proses tersebut pada dasarnya
merupakan keseluruhan aktivitas pendidikan yang berupaya untuk mencapai
tujuan. Satu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakekatnya
merupakan suatu perwujudan nilai-nilai yang ideal, berupaya terbentuknya
pribadipribadi manusia yang diinginkan. bAgi seorang muslim nilai-nilai itu
merujuk kepaada AL-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah saw di Makkah merupakan
suatu pendidikan untuk membentuk pribadi muslim, mereka dibina untuk
menjadi kader-kader muslim yang sejati, kader-kader yang mempunyai jiwa
perjuangan yang tinggi. Keberhasilan Rasulullah saw dalam mendidik
keluarga dan para sahabatnya ini dibantu oleh beberapa faktor antara lain :
bahwa memang ajaran Islam ini bersifat rasional dan fitrah, mudah diterima
dan dicerna oleh siapa saja yang mau berfikir secara terbuka dan transparan.
Di samping itu juga ditunjng oleh sikap dan pribadi Rasulullah saw sendiri
11
sebagai uswah hasanah baik sebelum maupun sesudah menjadi Nabi utusan
Allah SWT.
Nur Hidayah (2002) dalam skripsi dengan judul “TUJUAN
PENDIDIKAN ISLAM DALAM PRESPEKTIF AL-QUR’AN” berdasarkan
hasil penulisan ini dapat diperoleh kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam
dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
1. Dimensi Ruang dan Waktu
Sejalan dengan petunjuk Al-Qur’an, bahwa dalam kaitan dengan
dimensi ruang dan waktu ini. Secara garis besarnya pendidikan Islam
diarahkan pada tujuan utama yaitu memperoleh keselamatan hidup di
dunia dan kesejahteraan hidup diakherat. Di atas dapat dirumuskan tujuan
pendidikan Islam yang ideal dan operasional dengan ruang lingkup yang
memberikan nilai kehidupan manusia yang paripurna duniawiyah dan
ukhrowiyah yang melaksanakan tugas hidup individu dan sosial
berdasarkan perintah Allah SWT.
2. Dimensi Tauhid
Mengacu pada dimensi ini, maka tujuan pendidikan Islam
diarahkan kepada upaya pembentukan sikap takwa kepatuhan terhadap
Allah SWT. Dalam dimensi tauhid ini dinyatakan sebagai kepatuhan yang
mutlak, dengan menempatkan Allah sebaagai Dzat yang tunggal. Hanya
kepada-Nya memohon pertolongaan. Prinsip tersebut menjaadi kerangka
acuan dalam bertingkah laku, baik secara lahir maupun batin.
12
3. Dimensi Sosial
Manusia adalah makhluk sosial, dalam kaitannya dengan
masyarakat tujuan pendidikan diarahkan pada pembentukan manusia sosial
yang memiliki sifat takwa sebagai dasar sikap dan perilaku.
4. Dimensi hakekat penciptaan manusia
Berdasarkan dimensi ini, tujuan pendidikan Islam diarahkan
kepada pencapaian target yang berkaitan dengan hakekat penciptaan
manusia oleh Allah SWT. Dari sudut pandang ini, maka pendidikan Islam
bertujuan untuk membimbing perkembangan peserta didik secara optimal
agar menjadi pengabdi Allah SWT yang setia dan taat.
Rumusan tujuan akhir pada pendidikan Islam ialah mewujudkan
manusia yang berkepribadian muslim yang bulan lahiriah dan batiniah yang
mampu mengabdikan segala amal perbuatannya untuk mencari keridhoan
Allah SWT.
Layly Noorida (2001) dalam skripsi dengan judul “PEMIKIRAN
HASAN AL BANNA TENTANG PENDIDIKAN AQIDAH” menjelaskan
bahwa:
Pendidikan Aqidah yang ditanamkan oleh Al-Banna kepada setiap
anggota aktifnya adalah mewajibkan untuk mempelajari risalah tentang dasardasar
aqidah dan mengamalkannya. Disamping itu juga Al-Banna selalu
memberikan pengajaran l-Ilahiyat, An-Nurbuwwal, Ar-Ruhaniyal, As-
Samiyyat, yang semuanya itu diajarkan dan disampaikan dengan tujuan agar
13
mereka memahami Islam secara utuh dalam praktiknya, sehingga memiliki
aqidah yang bersih dan kuat.
Pendidikan Aqidah dipraktekkan dalam bentuk amal nyata seperti
sholat, membaca Al-Qur’an, zikir, doa, zakat dan sebagainya, yang semuanya
itu dilakukan berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga dapat memberi
pengaruh bagi seorang muslim pada perilakunya setiap hari.
Tujuan pendidikan Aqidah adalah membentuk kepribadian muslim,
yakni manusia yang terdidik akalnya, memiliki pemahaman yang benar
sehingga dapat membedaakan yang benar dari yang salah, memiliki cita rasa
yang dapat merasakan perbedaan antara yang baik dan yang buurk, dan tekad
kuat yang tidak melemah dan tidak luntur dihadapkan kebenaran.
Berdasarkan uraian di atas, keaslian penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan. Dan dari uraian diatas telah ada penelitian yang
hampir sama dengan penelitian yang akan dilakukan penulis, walaupun
judulnya berbeda tetapi intinya sama, maka penulis tertarik untuk meneliti
“Pendidikan Islam menurut pemikiran Sunan Kalijaga”.
Dalam peneliyian ini penulis lebih memfokuskan pada Pendidikan
Islam yang terkandung dalam pemikiran Sunan Kalijaga, yang nantinya akan
dipaparkan beberapa analisis Sunan Kalijaga dan sekaligus akan dipaparkan
pula bagaimana penulis mengamati dan menelusuri pemikirannya di sinilah
letak perbedaannya.
14
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian bibliografis
(M. Nazir, 1998 : 102) karena berusaha mengumpulkan data, menganalisa
dan membuat interpretasi tentang pemikiran tokoh, dalam hal ini adalah
pemikiran Sunan Kalijaga tentang pendidikan Islam, bila dilihat dari
tempat penelitian ini dilakukan maka penelitian ini tergolong dalam jenis
penelitian kepustakaan (Joko Subagyo, 1997 : 109). Riset kepustakaan ini
dalam rangka mencari data yang valid agar dapat digunaakan untuk
mengumpulkaan data-data yang penulis maksudkan serta pembahasan dan
penganalisaannya secara sistematis. Sedangkan pendekatan yang dipakai
adalah menggunakan pendekatan Histori Filosofis karena objek material
dari penelitian adalah pemikiran tokoh yang telah meninggal.
2. Sumber data
Karena penulisan skripsi ini dalam kategori penelitian literer, maka
seluruh data penelitian dipusatkan pada kajian buku yang memiliki
keterkaitan dengan pokok bahasan. Sumber data tersebut dapat dibagi
menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber
data primer yaitu buku karya Purwadi tentang “Sejarah Sunan Kalijaga
Sintesis Ajaran Wali Sanga Vs Seh Siti Jenar” yang berisi tentang sejarah
perjuangan Sunan Kalijaga hingga akhir hayatnya. Buku karya Widji
Saksono tentang “Mengislamkan tanah Jawa telaah atas metode dakwah
Walisongo” yang berisi tentang metode dakwah Sunan Kalijaga, alat dan
15
fasilitas dakwah. Buku karya Achmad Chodjim tentang “Mistik dan
makrifat Sunan Kalijaga” yang berisi tentang sejarah singkat Suan
Kalijaga, syariat dan belimbing. Buku karya Ridin Sofwan tentang
“Islamisasi dai Jawa Walisongo penyebar Islam di Jawa menurut
penuturan babad” yang berisi tentang sasaran dakwah, tujuan dakwah,
dan metode dakwah. Sumber data sekunder meliputi : Ilmu Pendidikan
Islam, Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah,
dan Masyarakat, Filsafat Pendidikan Islam, dan lain-lain.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara
mengumpulkan bahan-bahan bacaan atau pustaka yang terdiri dari
dokumen-dokumen, majalah-majalah, dna buku-buku yang berisi tentang
Sunan Kalijaga seperi ini disebut Metode Dokumentasi (Suharsimi
Arikunto, 199:131) yaitu mencari dan menggali data dari bahan-bahan
bacaan atau pustaka yang berkaitan dengan Pendidikan Islam menurut
pemikiran Sunan Kalijaga.
4. Metode Analisis Data
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan metode
Content Analysis atau metode Kajian Isi. Menurut Holsti dikutip dari
Moleong (2002: 163), kajian isi adalah teknik apapun yang digunakan
untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan
dan dilakukan secara obyektif dan sistematis. Content analysis memut
langkah-langkah sebgai berikut:
16
Mengklasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam suatu komunikasi
(pesan) menggunakan kriteria tertentu sebagai prediksi, selain dengan
metode analisa isi juga digunakan metode perbandingan, setelah
mengetahui langkah-langkah untuk melakukan analisis dengan
menggunakan metode di atas maka langkah-langkaah operasional yang
akan dilakukan untuk menganalisis peneltian ini adalah
mengklasifikasikan pemikiran Sunan Kalijaga tentang pendidikan Islam,
kemudian kriteria dipakai sebagai dasar klasifikasi adalah dengan
mengungkapkan kesamaan pemikiran Sunan Kalijaga atau yang
memperkuatnya dengan sumber-sumber yang berkaitan, sebagai langkah
akhir adalah membuat kesimpulan berdasarkan kriteria yang ada.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab dengan perincian sebagai
berikut:
Bab I : Pendahuluan, yang berisi tentang Latar belakang masalah,
penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II : Biografi Sunan Kalijaga, pada bab ini akan dibahas tentang
riwayat hidup Sunan Kalijaga, jasa-jasa Sunan Kalijaga, dan Khir hayat Sunan
Kalijaga.
Bab III : Pendidikan Islam menurut pemikiran Sunan Kalijaga, pada
bab ini akan dibahas tentang pengertian pendidikan Islam, sasaran pendidikan
17
Islam, dasar dan tujuan pendidikan Islam, metode dan sarana pendidikan
Islam.
Bab IV : Analisa pendidikan Islam menurut pemikiran sunan Kalijaga,
pada bab ini akan dibahas tentang pengertian pendidikan Islam, sasaran
pendidikan Islam, dan dasar dan tujuan pendidikan Islam, metode dan sarana
pendidikan Islam.
Bab V : Penutup, pada bab kelima berisi tentang kesimpulan, saransaran,
kata penutup, dan daftar pustaka.
TOKOH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
A. Apa yang Mempengaruhi Pemikiran Manusia ?.
Pemikiran manusia idealnya akan selalu berkembang sesuai dengan zamannya, yang tentunya dengan tetap berpegang dengan sebuah standar yang telah disepakati ummatnya kususnya umat islam kesepakatan itu adalah tidak menyalahi dengan al qur’an dan hadits, namun memang masih ada sebagaian masyarakat muslim yang masih mengganggap pembaharuan adalah hal yang tabu(seolah-olah begitu berdosa untuk melawan sebuah konsep lama yang mungkin sudah tidak relavan lagi), dari sisi lain memang masih timbul suatu pertanyaan terhadap perubahan-perubahan yang dilakukan oleh para intelektual akhir-akhir ini, dimana mereka melakukan gebrakan pemikiran dan ide-ide mereka dengan menggunakan standar-standar yang bukan dirumuskan oleh kalangan dalam islam sendiri seperti contoh banyak kalangan islam merujuk pada pemikiran-pemikiran dan ide-ide dari barat, sebenarnya dari kalangan islam semdiri masih banyak yang bisa dijadikan rujukan terutama yang berhubungan dengan fikih-fikih klasik, namun dianggap jumud.
Jadi inilah tugas para intelektual kedepan, mempersatukan dua magnet pemikran, di Indonesia kususnya dengan mengkomukasikan berbagai kalangan sehingga ide-ide dan pemikiran-pemikiran tajdid dapat diterima oleh kalangan manapun. Tentunya dengan diterimannya ide-ide tersebut akan membentuk opini dan pemikiran masyarakat tentang pentingnya tajdid seperti yang telah dilakukan oleh para pembaharu, yang pada gilirannya akan mengubah pemikiran(konsepsi) manusia tentang pentingnya pembaruan dalam ilmu-ilmu keislaman.
Yang dapat mempengaruhi pemikiran manusia minimal ada tiga(3) macam yaitu:
1. Lahirnya tokoh-tokoh besar (seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al Afgan, Syah Waliyullah, Muhammad Rasyid Ridha dll).
2. Lahirnya gagasan-gagasan (ide-ide) dari para ahli di bidangnya (tokoh-tokoh besar).
3. Terjadinya bencana.
Inilah factor dominan yang menyebabkan terjadinya perubahan pemikiran dan ide-ide manusia, dengan hadirnya para tokoh-tokoh dan orang-orang yang memiliki gagasan dan mencoba melakukan pembaharuan juga terobosan terhadap berbagai kebekuan pemahaman yang ada dan dianggap sudah tidak relevan lagi, masih berkembang dalam masyarakat khususnya masyarakat islam.
Disini akan bahas satu persatu tentang faktor-faktor yang dapat mengubah konsepsi masyarakat.
1. Lahirnya Tokoh-Tokoh Besar
Banyak dari kalangan tokoh-tokoh Islam yang mencetuskan tentang pentingnya membentuk opini (pemikiran) masyarakat untuk malakukan pembaharuan dalam khazanah keislaman agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dunia, agar senantiasa islam akan selalu dinamis. yang paling terkenal dan spetakuler adalah gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Jamaluddin al afgan dia merupakan pioneer perubahan pemikiran, dan gerakan politik yang dilakukannya, sehingga lahir gerakan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat mesir, terhadap penjajah.
Disini akan dijelaskan gerakan pembaharuan (reformasi) yang dilakukan Jamaluddin al Afgan lebih jauh, jamaluddin al afgan, nama lengkapnya adalah jamaluddin al afgani as-sayid muhammad bin shafdar al husain, ia merupakan seorang pemikir islam, aktivis politik dan jurnalis terkenal, lahir di desa asadabad, distrik konar, afganistan, pada tahun 1838, dari segi keturunan ia masih terikat dengan cucu Rasulullah Husin bin abi Thalib, ayahnya adalah sayid safdar al hisainiyah yang nasabnya bertemu dengan sayyid al thurmidzi (seorang perawi hadist),kaluarganya adalah penganut mazhab hanafi, pada masa kecil dan remajanya dihabiskan di afganistan.
Pendidikan dasar diperoleh ditanah kelahiranya, pada umur 8 tahun al afgan telah memperlihatkan kecerdasanya, ia melanjutkan pendidikannya dikabul turkey tidak hanya mempelajari ilmu agama tetapi juga ilmu lainya, al afgan sangat tekun mempelajari bahasa arab, filsafat, matematika, fikih dan ilmu keislaman lainnya.
Pemikiran al afgani lahir sebagai akibat dari kebenciannya terhadap kolonialisme yang menjadikannya, perumus dan agitator paham serta gerakan nasionalisme dan pan islamisme yang gigih, dengan demikian al afgani menjadi seorang tokoh muslim yang mempengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi-aksi social pada abad ke-19 dan ke-20. Apa yang dilihat al afgani di dunia barat dan yang dilihat di dunia islam memberi kesan bahwa umat islam pada masanya sedang berada dalam kemunduran, sementara dunia barat dalam kemajuan, hal ini mendorong al afgan untuk menumbuhkan pemikiran-pemikiran (gagasan-gagasan) baru agar umat islam mencapai kemajuan, ia telah membawa pemikiran pembaharuan yang mempunyai pengaruh besar dalam dunia islam. Pemikiran pembaharuannya didasarkan pada keyakinan bahwa agama islam untuk semua bangsa, zaman dan keadaan. tidak ada pertentangan antara ajaran islam dan kondisi yang disebabkan oleh perubahan zaman.
Dalam pandangan al afgan bahwa jika ada pertentanga antara ajaran islam dengan kondisi zaman saat ini, harus dilakukan penyusuaian kembali dengan mengadakan interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran islam yang tercantun dalam al qur an dan hadist, untuk mencapai hal ini dilakuakn ijtihad dan pintu ijtihad menurutnya belum tertutup, gunannya adalah untuk menyesuaikan dengan kondisi.
Menurut pandangan al afgan ada beberapa hal yang menyebabkan kemunduran dalam Islam diantaranya adalah: umat islam telah dipengaruhi oleh sifat static, berpegang pada taklid, bersikap fatalis, telah meninggalkan akhlak yang tinggi dan melupakan ilmu pengetahuan, ini berarti umat islam telah meninggalkan ajaran islam yang sebenarnya menghendaki agar umat islam bersifat dinamis.
Sifat statis, menurut al afgan, telah membawa umat islam menjadi tidak berkembang dan hanya mengikuti apa yang telah menjadi hasil ijtihad ulama sebelum mereka, karena itu umat islam dinilai al afgan hanya bersikap menyerah kepada nasib.
Faktor lainya adalah adanya faham jabariah dan salah faham terhadap qada(ketentuan tuhan yang tercantum dalam lauh mahfuz). Faham itu menjadikan umat islam tidak mau berusaha dengan sungguh-sungguh dan bekerja giat. Menurut pemikiran al afgan qada dan qadar mengandung pengertian bahwaa segala sesuatu terjadi menurut sebab musabab(kausalitas). lemahnya pendidikan dan kurangnya pengetahuan umat islam tentang dasar-dasar ajaran agama mereka, lemahnya rasa persaudaraan mereka dan perpecahan umat islam yang diberagi dengan kekuasaan yang absolute, memercayakan kepemimpinan pada yang tidak dapat dipercaya, dan kurangnya pertahanan milter merupakan faktor yang ikut membawa kemunduran umat islam. Faktor-faktor ini semua menjadikan umat islam lemah, statis, fatalis, dan mundur.
Al afgan ingin melihat umat islam kuat, dinamis dan maju, jalan keluar yang ditunjukkannya untuk mengatasi masalah ini adalah melenyapkan pengertian yang salah yang dianut umat islam dan kembali kepada ajaran yang sebenarnya. Islam mencakup segala aspek kehidupan baik ibadah, hukum, maupun sosial. Corak pemerintahan otokrasi harus diubah dengan pemerintahan demokrasi dan persatuan umat islam harus diwujudkan.
Pemikiran lain yang dimunculkan afgan adalah idenya tentang persamaan antara pria dan wanita dalam bererapa hal. Wanita dan pria sama dalam pandangan nya. Keduanya mempunyai akal untuk berfikir. Dengan demikian al afgan menginginkan wanita agar meraih kemajuan dan bekerja sama dengan pria untuk mewujudkan umat islam yang maju dan dinamis.
Dengan ide-idenya hingga al afgan selalu diawasi kegiatannya oleh koloni ingris di afganista. ia memutuskan untuk pergi ke india pada tahun 1869 di india-pun al afgan mengalami hal sama pada akhirnya ia memutuskan untuk ke mesir, pada mulanya al afgan tidak berencana untuk terjun kedunia politik di mesir akan tetapi memusatkan perhatiannya pada dunia pendidikan, diantara muridnya yang terkenal adalah Muhammad abduh. Pada 1876 ia memutuskan untuk kembali kedunia politik di Mesir terutama karena ada pengaruh inggris dalam persoalan sosial di Mesir, dengan bergabung bersama para politisi Mesir, pada tahun 1879 al afgan membentuk sebuah partai politik dengan nama hizb watan ( partai kebangsaan), dengan partai ini ia memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan memasukkan unsur-unsur Mesir dalam militer. pada tahun 1883 ia diusir oleh panguasa Mesir dan dia memutuskan untuk pergi ke Paris selama di Paris ia mendirikan perkumpulan yang diberi nama al urwatus wusqa anggotanya terdiri dari orang-orang mesir, suriah, afrika utara dan lain-lain.
Di Paris ia bersama Muhammad anduh mendirikan sebuah jurnal berkala dengan nama al urwatus wusqa sebagai sarana untuk menyalurkan ide-idenya, publikasi ini bukan saja menggemparkan dunia islam tapi juga barat, sehingga jurnal ini dilarang beredar baik luar negeri terutama di mesir, india walaupun demikian jurnal ini tetap saja hadir ditengah masyarakat walaupun secara illegal.
2. Hadirnya gagasan-gagasan (ide-ide) dari para ahli di bidangnya (tokoh besar).
Menyimak apa yang diperjuangkan al afgan Nampaknya begitu lengkap, untuk menjelaskan apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan pemikiran manusia. al afgan bukan berjuang memperharui ide-ide keislaman dengan kepala kosong, tapi memiliki segudang langkah dan strategi untuk membuktikan pada dunia bahwa islam bukanlah agama yang jumud, ide-ide afgan sangat beragam namun yang paling menonjol adalah pemikirannya bidang politik yang menjadi cirri khas pergerakannya, gerakannya pembaharuannya ini dapat dilihat dari musuh-musuhnya terutama adalah kalangan negarawan atau politisi.
Lahirnya gagasan-gagasan al afgan ini terutama disebabkan keadaan sosial umat islam terus ditekan oleh kolonialisme Inggris, al afgan berusaha memberontak dengan segenap potensi yang ia miliki terutama ide-ide pembaharuan yang ia lakukan melalui jalur politik, dengan terlibat dalam partai politik.
4. Terjadinya Bencana.
Terjadinya bencana dapat juga dipahami dengan kenyataan kejumudan pemikiran sebab dengan kejumudan pemikiran akan menimbulkan berbagai efek bagi kelangsungan kehidupan manusia, baik dalam bidang sosial maupun yang lainnya, yang merupakan akibat dari kujumudan itu, sama hal nya akibat dari bencana alam yang meninggalkan trauma bagi korban. Ini merupakan salah satu alas an al afgan menganggap pentingnya penafsiran kembali terhadap pemahaman-pemahaman lama tentang teks-teks agama agar lebih relafan sehingga masyarakat islam tidak terjebak dalam bencana kejumudan pemikiran. Sebab islam itu adalah agama yang dinamis.
B. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Indonesia.
Membicarakan pendidikan islam diindonesia perlu kita merujuk kembali beberapa tokoh yang telah menyumbangkan pemikirannya bagi kemajuan pendidikan di Indonesia, banyak tokoh yang merumuskan pendidikan yang baik bagi masyarakat Indonesia yang bercorak ketimuran, tokoh-tokoh klasik (awal) pendidikan islam di Indonesia terdiri dari berbagai kalangan, diantaranya adalah;
K.H. Agussalim,
K.H. Hasyim Asyiari,
Muhammad Natsir,
K.H. Zarksyi,
K.H. Ahmad Dahlan,
terakhir adalah Harun Nasution.
1. Pemikiran siapa saja.?.
Banyak sudah sumbangan pemikiran tokoh-tokoh terkemuka yang begitu peduli terhadap pendidikan di Indonesia kususnya pendidikan islam dengan ke-khas-an ide mereka masing-masing yang tentunya telah memberikan warna dalam perkembangan pendidikan islam di Indonesia, sebagai contoh pertama kali proses pendidikan di Indonesia hanya dilakukan disurau-surau dengan metode halaqah, kemudian berubah dengan banyaknya pembaharuan yang dilakukan oleh beberapa tokoh, selain metode juga perubahan dalam lembaga pada masa awal prose belajar dilakukan hanya dipondok-pondok pesantren kemudian berubah, paling tidak ada dua hal yang menyebabkan perubahan sistim pendidikan ini disebabkan oleh:
a. Banyaknya masyarakat Indonesia yang melaksanakan ibadah haji, kemudian belajar di mekah dan ketika pulang mereka berkeinginan untuk menerapkan cara-cara belajar yang mereka dapatkan di mekah.
b. Pengaruh sistim pendidikan barat yang mempunyai program yang lebih terkoordinir dan sistimatis yang terbukti lebih berhasil.
Jika pada mulanya orientasi pendidikan islam hanya belajar al quran dan mengetahui pokok-pokok ajaran islam, maka dengan pemikiran-pemikiran baru ditambah dengan berbagai macam pelajaran yang mendukung misalnya bahasa arab dan ilmu hadits.
Demikianlah sistim klasikal pendidikan islam Indonesia, beberepa penggagas mencoba mendirikan sekolah dengan metode belajar yang sedikit berbeda, Zainuddin Labia, adalah salah orang yang pertama kali mendirikan sekolah diniyah pertama di padang yang merupakan perkembangan dari suarau jembatan besi, disini telah digunakan bangku, meja, papan tulis, selain itu dalam teknik pengajaran disekolah diniyah ini telah menggunakan system ko-edukasi pada tahun 1915. Sisten ini ternyata mendapat sambutan yang baik dari masyarakat, sehingga pada tahun 1922, berdiri 15 sekolah semacam ini di Minang kabau. Demikian juga sekolah tanpa nama dirumah K.H.Ahmad Dahlan di kauman Yogyakarta diubah mejadi hooger muhammadiyah school kemudian menjadi Kweekschool islam dan akhirnya menjadi madrasah mu’alimah muhammadiyah dan madrasah mu’alimat muhammadiyah untuk putrid.
Dari beberapa tokoh dan ide-ide mereka dalam membangun pendidikan kususnya pendidikan Islam di Indonesia maka kedua tokoh ini mempunyai peran yang sangat besar dalam merombak dan menawarkan sistim serta metode yang lebih modern dalam pendidikan Islam di Indonesia .
3. Apakah telah mencerminkan suatu kemajuan.?.
Jika kemajuan yang kita maksud adalah pembaruan dari yang lama ke yang baru, maka pendidikan di Indonesia telah mengali kamajuan dimasa itu, tapi jika kemajuan diartikan sebagai usaha menciptakan(creator) sebuah model mungkin belum sampai sebab para tokoh-tokoh diatas juga banyak mengambil(mencontoh) dari beberapa model pembelajaran misalnya arab dan barat. tapi paling tidak ini telah menunjukkan sebuah usaha sungguh-sungguh oleh para tokoh pendidikan dizamannya untuk bersaing, dan memberikan sebuah pemahaman baru terhadap system dan praktik pendidikan Islam di Indonesia saat ini.
C. Pemikiran Nurdin Ar Raniry dalam kontek Pembaharuan Pemikiran Indonesia.
Nama lengkapnya ialah Nurdin Muhammad bn ali bin hasanji bin Muhammad ar rananiry al quraisy asy syafi’i. beberapa penulis menulis bahwa Nurdin adalah seorang serjana india keturunan arab, dilahirkan di ranir (sekarang rander) yang terletak surat di gujarat.
Ditempat ini ia memulai belajar keislaman pada waktu itu sebelum ia melanjutkan ke tarim, arab selatan yang merupakan pusat agama islam waktu itu. Pada tahun 1030H(1621M), ia menuju mekah dan madinah untuk melaksanakan ibadah haji dan berziarah kemakan nabi. Setelah mempelajari ilmu islam secara mendalam nurdi pulang kembali ke india dan menjadi syekh dalam tarikat rifai’yah yang didirikan oleh ahmad rifai’I yang meninggal tahun 578H(1183M).pada usia 19 tahun ia menggantikan kakeknya sebagai guru agama dan syekh tarikat rifai’iayh didaerah itu.
Setelah membekali diri dengan pengalaman dengan pengalam pamanya, Ia langsung berlayar kepusat kerajaan Melayu, Aceh Darussalam. Namun pada masa ini Kerajaan Aceh sedang berada dalam puncak keemasannya dibawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Begitu juga dengan suasana keagamaan dikuasai oleh tokoh wujudiyah, Syamsuddin as-Sumatrani. Raja ini tidak saja menghormati dan menyegani syamsuddin tetapi juga menjadi murid dan pengikut wujudiyah yang taat.Tentu saja Nuruddin sebagai ahli tassawwuf orthodoks tidak mendapat tempat di sini. Ia pun meninggalkan kerajaan, Dengan melanjutkan pelayarannya dan singgah di negeri Melayu yang lain yaitu di Semenanjung Tanah Melayu tepatnya di negeri Pahang, tempat kelahiran Sultan Iskandar Thani. Di sini pula ia mulai menyebarkan ajarannya dan mendalami bahasa Melayu. Beberapa kitabnya lahir di tanah ini. Besar kemungkinan ia juga telah akrab dengan Sultan Iskandar Thani. Akhirnya datang juga hari yang telah ditunggu-tunggunya.
Dengan wafatnya Syamsuddin as-Sumatrani (1630M) dan disusul pula oleh Sultan Iskandar Muda wafat (1636M) suasana keagamaanpun berubah. Tidak beberapa lama sesudah Sultan Iskandar Thani naik tahta, maka pada 6 Muharram 1047 H/31 Mei 1637 Nuruddin pun menjejakkan kakinya di Kerajaan Aceh untuk yang kedua kalinya. Sekarang ia telah mendapat dukungan dari Sultan, dan ia pun melepaskan ide-idenya yang telah lama disimpan. Di hadapan Sultan dengan mudah ia mengalahkan kaum wujudiyah. Inilah langkah pertama Nuruddin, selain ingin menyebarkan ajarannya ia juga ingin mendapat tempat istimewa di sisi Sultan seperti posisi Syamsuddin di sisi Sultan Iskandar Muda. Ia pun mulai melancarkan aksinya dalam kitabnya Hujjat al-Siddiq li Daf al-Zindiq ia menuduh kaum tasawwuf di Aceh adalah zindik (sesat).
Ia menyerukan ulama-ulama di Aceh untuk meninggalkan ajaran wujudiyah dan bagi siapa yang tidak meninggalkan ajaran tersebut halal hukumnya untuk dibunuh. Maka pada tahun 40 an abad ke-17 ia membasmi pengikut wujudiyah serta memusnahkan kitab-kitab yang berkaitan dengan wujudiyah terutama karangan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani di halaman Mesjid Raya Baiturrahman. Kejadian ini, ditulisnya sendiri dalam kitab Tibyan fi Ma’rifat al-Adyan—hampir seperenam isi kitab ini adalah sanggahan terhadap pemikiran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin. Tidak hanya dua tokoh ini yang diserangnya tetapi ia juga menentang unsur-unsur Syi’ah yang terdapat dalam Hikayat Muhammad Hanafiah.
Seiring dengan berjalannya waktu kejayaan Nuruddin di Aceh tidak berumur panjang, setelah wafatnya Sultan Iskandar Thani (1644) dan digantikan oleh permaisuri Sultanah Safiatuddin (1641- 1675), ternyata dalam waktu bersamaan datang pula seorang ulama Minangkabau dari Mekkah bernama Saiful Rijal. Ulama ini merupakan salah seorang murid Hamzah Fansuri. Maka hangatlah kembali perdebatan kaum wujudiyah dengan Nuruddin. Kali ini perdebatan dimenangkan oleh Saiful-Rijal. Mengenai peristiwa ini diriwayatkan sendiri oleh Nuruddin dalam kitabnya Fathal-Mubin. Akibatnya Nuruddin terpaksa meninggalkan Aceh secara tergesa-gesa, sehingga tidak sempat menyelesaikan karangannnya yang berjudul Jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Ma’lum. Sejak peristiwa tersebut ia tidak pernah lagi kembali ke tanah Melayu ini. Dan akhirnya Ia wafat di kota kelahirannya, Ranir, tahun 1658. Walaupun Nuruddin seorang ulama yang penuh dengan pertentangan dan intrik, ia tetaplah seorang sufi agung dan pengarang yang produktif. Kita patut mencatatnya dengan tinta emas dalam perjalanan panjang sejarah rantau Melayu ini. Dalam rentang waktu yang tidak lama tersebut, setidaknya ia telah menghasilkan 17 kitab selama di Aceh dalam berbagai bidang—produktifitas yang sulit ditandingi oleh pengarang manapun. Karya Nuruddin di Aceh; Lata’if al-Asrar, Asrar al-Insan fi Ma’rifat al- Ruh wa’l-Rahman, Tibyan fi Ma’rifat al-Adyan, Akhbar al-Akhirah fi Ahwali ‘-Kiyamah, Hall al-Dzill ma’a Sahabihi, Ma’al–Hayat li ahl-Mamat,Jawahir al-‘Ulum fi Kasyf al-Ma’lum,Umdat al I’tikad, Syifa’al Qulub, Hujjatal-Siddiq li Daf al-Zindiq, Fath al-Mubin, Kifayat al-Salat, Muhammadat al-I’tikad, Bad’al-Khalq, Hidayat al-Iman dan Bustan al-Salatin. karya Nuruddin yang paling fenomenal adalah Bustan as-Salatin (Taman Raja- Raja) yang dikarang atas titah Sultan Iskandar Thani (1637). Karya besar ini dipengaruhi oleh kitab Tajal-Salatin (1603), Sulalat al- Salatin (1612) dan Hikayat Aceh (1636) yang memang telah wujud sebelum ia sampai ke Aceh .
Dari perjalanan sejarah yang telah dijelaskan diatas terutama tentang peran Nurdin ar Raniry dalam upaya membumikan pemikiran-pemikirannya memang perlu mendapat perhatian terutama dari karya-karyanya yang sangat beragam, yang menggambarkan ketinggian ilmu Nurdi ar Raniry, selain itu dalam kontek pemahaman pembaharuan memang benar adanya jika sebagian pemikir indonesia menggolongkan langkah-langkah Nurdin ar Raniry sebagai sebuah gerakan pembaharuan, cukup beralasan adanya, namun disisi lain sedikit kejanggalan karena jika dilihat dari sejarah diatas corak tasauf yang kemudian ditawarkan ar-Raniry adalah tasauf ortodoks, atau klasik. tapi paling tidak, bisa melihat dari gerakan-gerakan yang dilakukan ar raniry, telah membuka etika pembaharuan dalam kazanah pemikiran Islam Indonesia kususnya dalam bidang tasauf.
D. Ketidak beruntungan Islam di Indonesia selama Pemerintahan Orde Baru.
Tidak diberkannya kebebasan bagi agama-agama untuk mengaktualisasikan nilai-nilai agama dengan baik dan diakui oleh Negara, sebagai contoh tidak ditemukannya kebebasan bagi daerah adalah syari’at islam seperti aceh, juga tidak diberikan pengakuan terhadapan hari-hari besar agama.
E. Salah Seorang Tokoh Pemikir Muslim Indonesia.
Untuk menggali lebih dalam tentang tokoh-tokoh terkemuka dan intektual islam Indonesia, memang sangat mengagumkan ini dikarenakan di Indonesia tidaklah kurang pemikir-pemikir kususnya dari kalangan islam, sangat beragam dan multi disiplin ilmu. Namun disini akan ditelusuri tentang sosok tokoh yang tidak asing bagi masyarakat islam Indonesia umumnya dan Aceh kusunya yaitu Muhammad Hasbi Assiddiqie.
Tgk. Hasbi Assiddiqie begitu nama populernya, ia lahir di bagian utara aceh sekarang Nanggroe aceh Darussalam pada tanggal 10 maret 1904 dari kalangan keluarga yang sangat terhormat yaitu ulama sekaligus pejabat, ia terlahir dari keturunan ketiga puluh tujuh yang berhubungan dengan abubakar assiddieq, ayahnya adalah Tgk Amrah dan ibunya adalah seorang putrid dari seorang qadhi cik maha raja mangkubumi dan al hajj Tgk Muhammad husen Ibn Muhammad mas’ud.
Sejak umur delapan tahun ia telah mengukuti pendidikan dayah yang berada pada bekas pusat kerajaan pasai dahulu, selain itu pada umur tujuh tahun ia juga telah mengkhatamkan al qur’an, beberapa hal yang menarik dari hasbi adalah pertaman; dia bukanlah orang yang manja tapi merupakan orang haus ilmu dan sangat tekun dalam belajar, ini dapat dilihat dari beberapa keahliannya dipelajari secara otodidak, pendidikan formalnya hanya satu setengah tahun di sekolah al irsyad (1926), walaupun demikian ide-idenya patut mendapat perhatian terbukti dari reputasinya dimana ia dipercaya untuk menyampaikan makalah dalam internastional Islamic collogium yang diselenggarakan dilahore Pakistan(1958). sebelum belajar ditimur tengah dan menunaikan ibadah haji ia telah meneriakkan slogan-slogan pembaharuan. Kedua; ia berasal dari sebuah masyarakat yang sangat fanatic dalam beragama dengan demikian hasbi mendapatkan tantangan yang berat terutama dari kalangan yang berbeda dengan ide-idenya, sehingga ia ditawan dan diasingkan dari masyarakat. Ketiga; gaya berfikirnya yang agak aneh dianggap orang, yaitu ia berfikir dengan bebas dan tidak terikat oleh suatu golongan bahkan ia berani bertentangan dengan jumhur ulama, ini merupakan fanomena langka.
Pendidikan pertama didapatkah hasbi adalah di dayah-dayah yang dipimin langsung oleh ayahnya, pada umur 12 tahun hasbi merantau untuk melanjutkan pembelajarannya yaitu dengan belajar di beberapa dayah seperti dayah blang kabu yang dipimpin oleh Tgk Chik blang kabu, gedong. Kemudian ia juga melanjutkan ke dayah Tgk. Syik Blang Manyak Smakurok.di daerah kerajaan pasai dan lhoksumawe. kemudian hasbi belajar ilmu fikih di dayah yang di pimpin oelh Tgk.Chik Idris yaitu dipesantren samalanga, dengan sangat serius dengan manghabiskan waktu selama dua tahun. Selama 20 tahun hasbi menghabiskan waktunya untuk melakukan perjalan ke berbagai pesantren. Pengetahuan bahasa arabnya dipelajari dari seorang ulama berkebangsaan arab yaitu syekh Muhammad bin salam al khalili. Pada tahun 1926 ia berangkat kesurabaya untuk belajar di al irsyad. Al irsyad dan syekh ahmad sukardi yang juga pendiri organisasi tersebut turut memberikan pengaruh besar dalam membentuk pemikiranya yang modern dan ketika kembali ke aceh ia langsung bergabung dengan Muhammadiyah.
Pada masa liberal ia terlibat secara aktif dalam partai masyumi, pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan berkonsentrasi dalam bidang pendidikan, 1960 ia dipercayakan sebagai dekan fakultas syariah IAIN sunan kali jaga Surabaya, hingga tahun 1972. Pada tahun itu juga ia diangkat menjadi seorang guru besar(professor) dalam bidang ilmu syari’ah, selain di IAIN, ia juga pernah menjabat dekan di universitas sultan agung semarang dan Rektor universitas al Irsyad Surabaya.Puncak dari prestasi ilmiahnya adalah ketikan ia diberi gelar Doktor Honoris causa pada 22 maret tahun 1975, terakhir adalah gelar prof yang ia peroleh walau hanya seorang alumni dayah ini sebagai gambaran ketinggian usaha hasbi assiddiqie dalam belajar .
Karya-karya Hasbi yang sangat beragam dan tentang berbagai disiplin ilmu kususnya ilmu-ilmu keislaman, seperti: pengantar hukum islam, pengantar fiqh, hokum fiqh islam, fakta dan keanggunan syari’at islam,dinamika dan elastisitas hokum islam, tafsir annur, tafsir al bayan, pengantar ilmu al qur’an/tafsir, pokok-poko ilmu al-qur’an, sej. dan pengantar ilmu hadits, sejarah perkembangan hadits, problema hadits, mutiara hadits, dll.
Ide-ide atau gagasan hasbi dalam bidang agama sungguh luar biasa hingga walau idenya bertentangan dengan ulama dua organisasi besar islam (NU dan Muhammadiyah) di Indonesia tapi ia tidak merasa terbebani dengan kedua oraganisasi tersebut namun ia justru membuka kebekuan pemikiran dalam kedua organisasi tersebut.
Idenya yang sangat tidak populer bagi kalangan ulama pada waktu itu adalah pertama: gagasan tentang perlunya digagas fiqh yang bercirikan masyarakat Indonesia, kedua: adalah dalam hak asasi manusia, sebab menurutnya, allah telah menjadikan manusia sebagai khalifah dan memiliki posisi yang penting dan mulia, ia merujuk pada ayat al qur’an surat al isra’ ayat 70. Ketiga: perlunya ijtihad, sebab menurut hasbi bahwa syari’at islam itu ada yang berasal dari allah dan ada yang merupakan hasil ijtihad para mujtahid terhadap syariat islam tersebut, umat islam akhir-akhir ini menurutnya cendrung mangganggap absolute hasil ijtihad para mujtahid tersebut, walaupun kadang-kadang relevansi pendapat-pendapat imam mazhab itu perlu direlevansikan lagi dengan melakukan ijtihad, sehinggan syariat islam menjadi dinamis. Keempat: memfungsikan fiqh untuk menjawab tantangan zaman, sehingga syariat islam itu mampu menjawab tantangan zaman.
Untuk menerapkan ini menurutnya dibutuhkan langakah-langkah sebagai berikut; 1(satu). Menyusun kembali kitab fiqih sesuai dengan bentuk dan sistimatikanya sesuai dengan tuntutan masa kini. 2(dua). Menyusun kitab fikih hadits yang menjadi pedoman bagi pengkaji atau pencari hokum islam, yang lengkap segala bidangnya secara ringkas seperti kompilasi hokum islam. 3(tiga).Pembahasan peristiwa-peristiwa hukum yang timbul pada masa sekarang yang berhubungan dengan perkembangan masyarakat misalnya masalah riba, dalam kaitan dengan bank, lottre, seni dan lain sebagainya. 4(empat). Melakukan kajian perbandingan antara fiqh dengan hokum positif. untuk masalah penetapan hokum-hukum baru hasbi menyarankan adanya sebuah lembaga permanen yang anggotanya terdiri dari ahli-ahli hukum islam dan ahli-ahli ilmu sosial lainnya. Ketiga: adalah pemeliharaan al qur’an, pemeliharaan al qur’an yang telah dilakukan berbagai pihak sesuai dengan masanya seperti para sahabat, mufassir, maka untuk umat islam sekarang sudah sewajarnya untuk masyarakat yang talah mencapai tingkat kebudayaan yang tinggi maka dibutuhkan suatu tafsir yang bisa dicerna dan difahami, dan dapat melakukan ta’abut (bacaan al qur’an sebagai ibadah).dengan tadabbur (yaitu memahami isi dan maknanya).dengan demikian tugas ulama sekarang dalam memelihara al qur’an adalah : 1.(satu).Menyusun kitab tafsir yang sesuai dengan tingkat kecerdasan umat masa kini. 2 (dua). Mengumpulkan ayat-ayat sepermasalahan(maudhu’i). 3 (tiga).Menumpulkan ayat-ayat yang menerangkan keharaman sesuatu hal, dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut disertai dengan hikmah diharamkannya.
(Menelusuri Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam Indonesia)
A. Pendahuluan
Pemikiran pendidikan Islam selalu menjadi topik perbincangan hangat dari waktu ke waktu. Mulai dari munculnya Islam sebagai agama hingga terelaborasinya Islam menjadi objek studi dalam ranah pemikiran para cendekiawan muslim maupun orientalis. Mulai dari zaman klasik hingga – meminjam istilah Prof. Dr. Nur Cholish Madjid – zaman neo modernis. Pada tataran konsep pemikiran pendidikan, telah banyak dikaji secara parsial maupun komprehensif tentang apa, bagaimana dan kemana arah tujuan pendidikan Islam sesungguhnya, seiring sejalan dengan perkembangan konstruk sosial umat muslim tentunya dan perkembangan ilmu pengetahuan serta tuntutan zaman.
Pada mulanya pendidikan Islam berjalan secara alamiah, apa adanya, dalam arti belum tampak dinamika pemikiran tentang konsep pendidikan Islam. Pada zaman Rasulullah misalnya, sistem pendidikan, kurikulum (materi) maupun tujuan pendidikan menjadi kewenangan beliau. Belum ada seorangpun yang mampu memberikan masukan bahkan menentukan materi-materi pendidikan Islam. Materi pendidikan masih berkisar pada norma-norma ajaran al-Qur’an dan petunjuk al-Hadits mengenai bidang keagamaan, akhlak, kesehatan jasmani, dan pengetahuan kemasyarakatan.
Kenyatan tersebut terus berlangsung hingga akhir masa Dinasti Khulafaurrosyidin dan awal masa Dinasti Umayyah. Perhatian para khalifah maupun raja terhadap masalah pendidikan Islam terasa kurang. Para ulama’lah yang terus berjuang menelurkan konsep serta kebijakan pendidikan. Namun begitu, materi pendidikan terus berkembang hingga melahirkan berbagai macam disiplin ilmu keislaman lainnya. Mulai dari ilmu bahasa Arab, tafsir, mustholah hadits, fiqih, kalam, mantiq, falak, tarikh, kedokteran, sastra dan lainnya.
Meski dilihat pada perkembangan selanjutnya pendidikan Islam telah mengalami proses dinamika pemikiran yang sangat luas, unsur pendidikan moral pun tak luput dari kajian pembahasan para pemikir pendidikan Islam. Pendidikan moral sendiri kemudian menjadi semacam unsur permanen dalam sistem pendidikan Islam, setidaknya dalam penetapan kurikulum maupun pemantapan visi dan misi kependidikannya.Harun Nasution berpendapat, pendidikan moral merupakan titik tekan yang sangat signifikan dalam pendidikan Islam, karena ia merupakan salah satu inti dari ajaran agama Islam itu sendiri, selain juga pendidikan ke-teologis-an dan ke-ibadah-an.
Hal terpenting yang menjadi sorotan para pakar pendidikan Islam saat ini adalah tentang fenomena gejala kemerosotan moral masyarakat, baik orang dewasa maupun anak-anak pelajar, seperti penyelewengan, penipuan, perampokan penindasan, saling menjegal dan saling merugikan dan masih banyak perbuatan tercela lainnya.
Ironinya segala permasalahan tersebut di atas ditumpahkan kepada tanggung jawab para pendidik formal dalam mengatasinya. Meski kemudian para orang tua, ahli agama, ahli sosial dan ahli-ahli lainnya turut berkecimpung membahas akar permasalahan keburukan moral serta mengupayakan pencarian solusinya.
Terkait dengan peranan pendidikan dalam meningkatkan moralitas yang baik ini, banyak persoalan yang mesti dijawab oleh mereka. Diantaranya adalah: “dimanakah letak fungsi dan peranan pendidikan agama dalam meningkatkan akhlak dan moralitas bangsa? Adakah kesalahan yang telah dilakukan oleh dunia pendidikan? Dan bagaimanakah cara memperbaiki kinerja dunia pendidikan dalammengatasi permasalahan tersebut?”.
Seiring dengan bermuculan pertanyaan lain seputar pendidikan ini, para pakar pendidikan Islam berupaya secara konsisten memberikan pendapatnya terutama mengenai pendidikan moral. Diantara pakar tersebut adalah Harun Nasution, Nur Cholish Madjid dan Mukti Ali.
Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan kembali beberapa konsep pemikiran pendidikan para pakar tersebut di atas, yaitu yang terkait dengan permasalahan moral dalam dunia kependidikan. Konsep-konsep tersebut kemudian disajikan secara deskriptif-analisis dengan pendekatan perbandingan pemikiran dari berbagai ahli pendidikan baik dalam maupun luar negeri.
B. Pendidikan Moral dalam Perspektif Pemikir Islam
1. Pemikiran Pendidikan Moral Harun Nasution
Diakui dalam diskursus wacana cendekiawan muslim bahwa pada ranah pemikiran pendidikan ada hubungan keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan agama dan moral. Pendidikan Islam misalnya tidak terlepas dari upaya penanaman nilai-nilai serta unsur-unsur agama pada jiwa seseorang, yang diantaranya adalah nilai-nilai moral atau yang biasa disebut dengan Akhlaq.
Nilai-nilai moral yang dimaksudpun tidak terlepas dari ajaran-ajaran normativitas agama Islam seperti yang telah dicontohkan oleh Rasul. Rasulullahpun bersabda dalam sebuah Hadits bahwa Beliau diutus kepada manusia adalah untuk menyempurnakan akhlaq/moral manusia.
Tentang eratnya hubungan agama dengan moral ini kita dapat menganalisa dari keseluruhan ajaran agama Islam itu sendiri, bahwa akhirnya akan berujung pada pembentukan moral. Perintah mengucapkan dua kalimat syahadat misalnya yang merupakan inti awal masuknya seseorang ke dalam agama Islam, mengandung pesan moral agar segala ucapan dan perbuatannya dimotivasi oleh nilai-nilai yang berasal dari Tuhan dan Rasul-Nya, mencontoh sifat-sifatnya dan sekaligus diarahkan untuk selalu mendapat keridhaannya. Selanjutnya perintah shalat ditujukan agar terhindar dari perbuatan yang keji dan mungkar (lihat Q.S. al-Angkabut,2:183). Perintah zakat ditujukan untuk menghilangkan sifat kikir dan menumbuhkan sikap kepedulian (lihat Q.S. al-Taubah,2:103). Perintah ibadah haji ditujukan agar menjauhi perbuatan keji, pelanggaran secara sengaja (fasiq), dan bermusuh-musuhan (lihat Q.S. al-Baqarah,2:197).
Kaitannya dengan uraian di atas Harun Nasution kemudian berkesimpulan bahwa sebenarnya ajaran normativitas agama Islam terdiri dari dua dimensi pokok yaitu: masalah-masalah ke-Tuhan-an atau ketauhidan dan masalah-masalah kebaikan serta keburukan atau moral.
Dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam ini maka diperlukan seperangkat proses maupun aturan sebagai media transformasi sekaligus internalisasi nilai-nilai ketauhidan dan moral yang dimaksud berupa proses dan perangkat pendidikan Islam. Perangkat pendidikan Islam harus memiliki beragam komponen di antaranya adalah pendidik, orang yang akan dididik, materi, tujuan, metode dan lain sebagainya.
Tujuan pendidikan Islam menurut Harun Nasution adalah untuk membentuk manusia yang bertaqwa, yang mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Bertaqwa yang dimaksud adalah seperti apa yang digambarkan dalam al-Qur’an yaitu, mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, menginfakkan sebagian rezeki, beriman kepada Al-qur’an dan kitab-kitab yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya serta yakin akan adanya hari kiamat (lihat Q.S. al-Baqarah,2:3-4).
Dari konsep tersebut akan dapat kita tangkap bahwa tujuan pendidikan Islam mengindikasikan kearah dua kutub yang berbeda namun saling berkaitan yaitu, di samping mengutamakan ketauhidan dengan segala persoalannya (teosentris), tetapi juga mengakomodasi pentingnya peran moral manusia dalam berinteraksi dengan jenisnya (humanis).
Tentang dua indikasi ini Harun Nasution berpendapat bahwa pendidikan Islam sebaiknya memiliki bahan/materi pendidikan yang secara umum didasarkan pada tujuan spiritual, moral dan intelektual, yang kemudian oleh pakar pendidikan disebut dengan istilah Kecerdasan Spiritual, Intelektual, dan Emosional.
Meski begitu, Harun Nasution melihat lebih pentingnya penekanan terhadap aspek pendidikan moral. Pendapat tersebut mengisyaratkan beberapa kemungkinan bahwa pendidikan moral akan dengan sendirinya mengarahkan manusia kepada konsep tauhid dalam Islam. Bahwa dengan aturan moral dapat ditarik hikmah akan adanya pencipta yang mengatur segalanya di bawah satu Pengatur yaitu Tuhan. Dan juga bahwa pendidikan moral merupakan bentuk lain dari pendidikan tauhid. Sampai di sini kiranya apa yang ingin ditafsirkan oleh Harun Nasution tentang hadits “Bu’itstu li utammima makaarimal akhlaaq”.
Pendapat ini seperti juga yang disampaikan oleh Ibn Miskawaih bahwa letak keutamaan pentingnya pendidikan moral adalah dalam urgensi nilainya yang cukup signifikan dalam membentuk kepribadian manusia. Bahwa semua krisis yang melanda manusia termasuk di dalamnya krisis spiritual lebih disebabkan oleh hancurnya pendidikan Akhlak. Minusnya moral (akhlaq) ini akan membuat predikat manusia yang mulia – dengan akhlaq dan taqwa – turun menjadi hina (lihat Q.S. al-Tin,95:5).
Karena penekanan pendidikan Islam adalah pendidikan moral, maka metode yang dipakai menurut Harun sebaiknya :
1. Pemberian contoh dan teladan
2. Pemberian nasehat
3. Pemberian bimbingan / tuntunan moral dan spiritual
4. Kerjasama antara tiga komponen pendidikan yaitu; sekolah, rumah (keluarga), dan lingkungan (masyarakat)
5. Tanya jawab dan Diskusi
6. Kerjasama dengan pihak lain
Agar metode tersebut dapat berjalan dengan baik dan benar maka perlu untuk memperhatikan kondisi para pendidiknya. Kualitas pendidik Islam harus mencerminkan pendidik yang bertanggung jawab, penuh wibawa, cerdas, tangkas, beriman dan memiliki wawasan yang luas. Menurut Harun kualitas para pendidik Islam setidaknya memiliki kriteria :
1. Sanggup memberi contoh
2. Menguasai ilmu-ilmu pendidikan
3. Menguasai pengetahuan yang luas tentang agama
4. Menguasai pengetahuan umum
Kemudian apabila melihat kepada anak didik, Harun Nasution berpendapat bahwa pendidikan Islam yang menekankan pentingnya pendidikan moral ini harus dilaksanakan sejak anak masih bersih kalbunya dan belum ternodai oleh kebiasaan-kebiasaan tidak baik, kerena menurutnya apabila sudah ternoda akan susah untuk menghilangkannya.
Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ali Asyraf bahwa pendidikan moral harus ditanamkan terhadap seorang anak sejak dari tahap awal sekali walaupun realisasi spiritual yang sebenarnya merupakan pencapaian terakhir. Artinya pendidikan moral diusahakan dilaksanakan semenjak anak masih dini dan belum terlalu mengenal kehidupan lingkungan yang begitu luas.
Emile Durkhiem pun berpendapat demikian, bahwa kondisi perkembangan intelektual anak-anak usia dini masih belum sempurna. Begitu juga kehidupan emosinalnya masih terlalu sederhana dan belum berkembang. Nah pada tahap inilah penanaman aspek dasar pendidikan moral sangat dipentingkan untuk dapat diserap oleh mereka. Sebaliknya apabila telah melewati tahap usia dini tetapi belum diletakkan dasar-dasar moral kepada mereka, maka dasar-dasar moral itu tidak akan pernah tertanam dalam diri si anak.
Sampai di sini Harun Nasution kemudian menekankan pentingnya penekanan terhadap terminologi pendidikan itu sendiri dari sekedar pengajaran moral Islam. Hal tersebut penting karena di masyarakat telah terjadi salah kaprah tentang pendidikan itu sendiri. Titik tekan pendidikan moral diletakkan pada bagaimana si anak terdidik berpengetahuan moral, bukan bertujuan bagaimana mereka memiliki jiwa yang sangat bermoral secara Islami.
2. Pemikiran Pendidikan Moral Nur Cholish Madjid
Lain halnya dengan Harun Nasution, Nur Cholish Madjid menyoroti lebih tajam tentang pendidikan moral dalam perspektif pendidikan Islam. Ia berpendapat bahwa penekanan pendidikan moral harus lebih diarahkan pada bagaimana membentuk manusia dapat saleh secara maknawi dan bukan hanya saleh lahiri. Kaitannya dengan ini Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah tidak melihat kondisi lahiriah manusia tetapi lebih melihat kondisi batinnya (lihat Q.S. an-Najm,53:32 dan an-Nisa’ 4:49). Kesalehan maknawi yang dimaksud adalah kemuliaan moral yang tampak sangat melekat pada pribadi seseorang tanpa terjebak maupun dijebak oleh keadaan-keadaan formalitas masyarakat sekelilingnya. Dalam konteks pendidikan Islam kesalehan maknawi ini merupakan wujud dari akhlaqul karimah atau akhlaq mulia.
Lebih lanjut akhlaq mulia dalam dimensi yang lebih luas berkaitan dengan prinsip-prinsip inklusivisme keagamaan (wajib beriman), kosmologi (paradigma optimis-positif kepada alam, yang juga berkaitan dengan teori ilmu yang benar), antropologi (pandangan manusia sebagai makhluk tertinggi dengan hak-hak asasinya, yangdilahirkan dalam fitrah dan bersifat hanif).
Kemudian berkenaan dengan kesalehan maknawi ini, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah bagaimana cara membuat para calon terdidik dapat beramal saleh dengan sebanr-benarnya tanpa terjebak ke dalam kehidupan pragmatisme. Seperti yang telah menjadi rahasia umum bahwa dalam kondisi sosial masyarakat yang serba modernis, hedonis, pragmatis seringkali menyebabkan keguncangan jiwa masyarakat itu sendiri, yang akhirnya mengakibatkan tampilnya secara subur simbol-simbol keagamaan formal dan penampilan-penampilan keagamaan lahiriah, sehingga kesalehan lahiripun mengecoh orang banyak. Jawabannya sulit memang tetapi dengan kesungguhan usaha dari para pendidik diharapkan akan mampu diwujudkan para calon terdidik dengan kesalehan yang diharapkan.
Untuk itu, diantara yang perlu dipersiapkan adalah para calon terdidik yang benar-benar excellent dalam pendidikan Islam, yang diantaranya mampu mencerminkan sifat-sifat yang dimiliki oleh Rasulullah yaitu; shiddiq, amanah, tabligh, fathonah. Dalam hal ini kesulitan yang menghadang adalah bahwa paradigma para calon terdidik telah dikungkung oleh pandangan umum akan rendahnya kualitas studi-studi keagamaan sebagai akibat dari padangan “modern” saat ini, gengsi keagamaan khusus merosot tajam, karena dianggap tidak mampu memberi “janji kerja” (promise job) yang memadai dan lain sebagainya.
Di lain hal kebutuhan akan tenaga pengajar yang benar-benar profesional di bidangnya, terutama pendidikan moral ke-Islaman, sangat jarang ditemukan. Yang ada hanyalah tenga pengajar yang terjebak ke dalam mind set nya sendiri akan ajaran-ajaran dogmatis yang kaku dan tidak dapat menarik perhatian.
Melihat kesulitan-kesulitan di atas, ada beberapa solusi pemecahan alternatif sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Abuddin Nata yaitu: pertama, pendidikan agama yang dapat menghasilkan perbaikan moral harus dirubah dari model pengajaran agama kepada pendidikan agama. Kedua, pendidikan moral dapat dilakukan dengan pendekatan integrated, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Ketiga, sejalan dengan cara yang kedua tersebut, pendidikan moral harus melibatkan seluruh guru. Keempat, pendidikan moral harus didukung oleh kemauan, kerjasama yang kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari keluarga/rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Kelima,pendidikan moral harus menggunakan berbagai macam kesempatan, berbagai sarana teknologi modern dan lainnya seperti kesempatan berekreasi, berkemah, sarana masjid, surat kabar, radio, televisi dan lain sebagainya.
3. Pemikiran Pendidikan Moral Mukti Ali
Secara umum, Mukti Ali menyoroti masalah etika, akhlaq atau moral lebih pada bagaimana ia dapat diakses dan diterapkan oleh golongan pelajar yang terbagi dua yaitu, golongan intelektual atau cendekiawan dan kaum praxis. Menurutnya kaum cendekiawan dengan kemampuan intelektualnya harus memiliki nilai-nilai moral dalam setiap ranah intelektual pengetahuannya. Ide-ide, konsep-konsepnya harus bisa lebih mendorong mereka untuk perbaikan-perbaikan, penyempurnaan-penyempurnaan dari sebuah keadaan yang sekarang dialami. Hal ini bukan berarti keadaan sekarang tidak lebih baik, tetapi bagaimana kegelisahan para cendekiawan tersebut dapat memberi sumbangan berarti terhadap keadaan moral masyarakat ke arah yang lebih baik. Untuk itu, menurut Mukti Ali, salah satu syarat seorang cendekiawan terutama cendekiawan muslim adalah bahwa ia harus memiliki kecakapan untuk melahirkan pikiran-pikiran tentang moral dalam kata-kata, baik lisan maupun tulisan.
Sedangkan kepada golongan praxis, yang lebih dituntut adalah bagaimana ia dapat menerapkan praktek moral dalam kehidupan sehari-hari, yang sangat berkaitan dengan hal-hal yang kongkrit. Lebih jauh tugasnya adalah melakukan tindakan-tindakan untuk mengatasi persoalan-persoalan empirik.
Sampai di sini, menurut hemat penulis, sebenarnya perbedaan antara kaum intelektualis dan kaum praxis ini hanyalah memiliki fungsi untuk memisahkan bidang garap masing-masing kaum itu sendiri, tidak lebih pada bagaimana keduanya sama-sama memiliki peran yang signifikan dalam proses kehidupan bermoral di masyarakat. Atau lebih jelasnya pemisahan itu untuk memberikan batasan-batasan peran masing-masing dalam memberikan sumbangan manfaat ke dalam kehidupan berinteraksi sosial. Untuk itu maka perbedaan tersebut mungkin lebih dikenal sebagai perbedaan dialektis daripada perbedaan dikotomis.
Perbedaan dialektis yang dimaksud adalah bahwa titik temu kedua terminologi tersebut adalah bahwa kaum intelektualis dengan kritik sosial dan ide-ide moralnya dapat mampu menyumbangkan hal yang bermafaat dalam tataran praxis. Dan bahwa kaum praxis dengan sendirinya akan memberikan sumbangan berharga bagi pengamatan-pengamatan yang dilakukan oleh kaum intelektualis.
Kemudian keluar dari permasalahan tersebut, seperti pendapat para cendekiawan muslim lainnya, Mukti Ali tidak menafikan akan adanya hubungan ‘organik’ antara pendidikan agama dan moral. Bahwa sistem agama, yang berupa oerientasi nilai, keyakinan, norma hukum, juga mempunyai saham yang tidak kecil dalam membentuk watak dan tingkah laku seseorang.
Lebih jauh menurutnya fungsi pokok agama adalah mengintegrasikan hidup. Bahwa agama dengan nilai-nilai moralnya amat diperlukan dalam kehidupan manusia. Contoh kecil dari hubungan agama dan moral ini dapat dilihat dari fenomena dewasa ini tentang kekhawatiran masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial yang merugikan akhlak atau moral di kalangan penduduk kota-kota besar. Dalam hal ini nilai-nilai moral dalam agama dirasa penting untuk diterapkan.
Dalam Islam, al-Qur’an misalnya menginginkan untuk menegakkan kehidupan masyarakat yang egaliter, baik sosial,politik dan sebagainya yang ditegakkan pada dasar-dasar etika. Hal tersebut dapat dilihat dari ayat-ayat yang menyiratkan tentang “memakmurkan bumi” atau “menjauhi kerusakan di dunia”. Juga dapat dilihat dari ayat tentang tugas manusia yang dinyatakan dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sampai di sini semakin jelalah akan adanya hubungan yang tak teroisakan antara nilai-nilai agama yang diinternalisakan kepada manusia dengan pendidikan agama dengan pendidikan moral.
C. Penutup
Sampai pada akhir tulisan ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa para pemikir Islam kontemporer tersebut di atas memiliki kesamaan visi dalam memandang pendidikan moral dalam perspektif pendidikan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat bahwa pendidikan agama dan moral sangat memiliki hubungan yang erat. Dan bahwa apapun bentuk interaksi sosial manusia tentu tidak terlepas dari perilaku moral atau etika dan akhlaq.
Berangkat dari kesamaan visi tersebut, maka cita-cita pemikiran pendidikan Islam kontemporer mengedepankan pentingnya mendasari setiap bentuk pendidikan di atas bangunan moral yang tinggi.
Kiranya demikian tulisan ini penulis sampaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lamu bisshowab.
DAFTAR PUSTAKA
• Ali, Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini. Jakarta: Rajawali, 1987
• Asyraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989
• al-Kahlani, Imam, Subul al-Salam, Jilid I, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1954, h.231 dalam Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendididkan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2003
• Durkheim, Emile, Pendidikan Moral, Jakarta: Erlangga, 1999
• Madjid, Nur Cholish, Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (Ed) Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Logos, 2002
• Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1998
• Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendididkan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2003
• Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2004
PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN
SUNAN KALIJAGA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi Tugas dan Syarat-syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Pada Fakultas Agama Islam Jurusan Tarbiyah
Oleh :
T U T I K S U P I Y A H
NIM. G.000.000.013
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2007
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam merupakan penataan individual dan sosial yang
dapat menyebabkan seseorang tunduk dan patuh pada Islam serta
menerapkannya secara sempurna di dalam kehidupan individu dan masyaakat.
Berdasarkan makna ini maka pendidikan Islam berupaya untuk
mempersiapkan diri manusia agar dapat melaksanakan amanat yang
dipikulnya yaitu sebagai khalifah Allah SWT yang bertugas memakmurkan
bumi, sebagai hamba Allag SWT berkewajiban untuk mengabdi dan beribadah
semata-mata hanya kepada Allah SWT.
Islam sebagai agama yang mengandung konsep-konsep, wawasanwawasan,
dan ide-ide dasar yang memberi inspirasi terhdap pemikiran umat
manusia sekaligus sebagai sistem peradaban mengisyaratkan betapa
pentingnya pendidikan. Isyarat ini dijelaskan dari berbagai muatan dalam
konsep ajarannya salah satu diantaranya melalui pendekatan filosfis, ilmu
pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan
yang didasari oleh nilai-nilai Islam menurut konsepsi filosofi yang
bersumberkan pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW (Arifin,
2000:109).
Islam adalah agama yang memberikan dorongan yang begitu besar
terhadap pendidikan yang mengajarkan kepada manusia mengenai berbagai
2
kehidupan baik duniawi ataupun ukhrawi. Salah satu ajaran Islam tersebut
adalah mewajibkan kepada manusia untuk melaksanakan pendidikan.
Islam merupakan syari’at Allah SWT bagi manusia yang dengan bekal
Syari’at itu manusia beribadah, agar manusia mampu memikul dan
merealisasikan amanat besar itu, syari’at itu membutuhkan pengalaman,
pengembangan dan pembinaan. Pengembangan dan pembinaan itulah yang
dimaksud dengan Pendidikan Islam. Seperti halnya tercantum dalam surat Al-
Ahzab : 72.
Pendidikan sebagai suatu proses dalam pandangan filsafat pendidikan
Islam, sebagaimana tidak dapat dilepaskan dari keterkaitan dengan fitrah
manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Dengan demikian pendidikan
pada hakikatnya adalah rangkaian bimbingan dan pengarahan hidup manusia
berupa kemampuan-kemampuan dasar (potensi fitrah) dan kemampuan ajar
(Intervensi), sehingga terjadi perubahan dalam kehidupan pribadinya baik
dalam statusnya sebagai makhluk individu sosial serta hubungannya dengan
alam sekitar dimana ia hidup (M. Arifin, 1994 : 14). Proses tersebut senantiasa
harus berada dalam nilai-nilai Islam yaitu nilai-nilai yang melahirkan normanorma
Syari’at dan Akhlaq al Karimah.
3
Pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup
seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba-hamba Allah SWT
(Nur Uhbiyati, 1997 : 12).
Menurut Solicin bahwa membicarakan tentang Wali Sanga berarti
membicarakan mengenai Islam di tanah Jawa. Oleh karena Wali Sangalah
yang mempelopori dakwah Islam di bumi Jawa. Wali Sanga dianggap sebagai
tokoh-tokoh sejarah kharismatik yang membumikan Islam di tanah Jawa yang
sebelumnya berkembang bersama tradisi Hindu-Budha (Purwadi, 2003:33)
Kata wali berasal dari bahasa Arab itu artinya dekat atau kerabat, atu
teman. Dalam Al-Qur’an istilah ini disebutkan dalam surat Yunus : 62 dan
Al-Baqarah : 257.
Menurut Efendy (dalam Purwadi, 2003 : 39) kata “wali” menurut
istilah, ialah sebutan bagi orang-orang Islam yang dianggap keramat, mereka
adalah penyebar agama Islam. Mereka dianggap manusia suci kekasih Allah,
orang-orang yang sangat dekat dengan Allah, yang dikaruniai tenaga ghaib,
mempunyai kekuatan-kekuatan batin yang sangat berlebih, mempunyai ilmu
yang sangat tinggi, sakti berjaya-kejiwaan.
4
Menurut Hadiwiyono, kata sanga menurut pendapat Mohammad
Adnan adalah perubahan dari kata sana yang berasal dari kata Arab “tsana”
berarti sama dengan mahmud yang terpuji. Jadi Wali Sana artinya wali-wali
terpuji. Pendapat Raden Tanoyo (pengarang kitab Wali Sanga). Hanya saja
Tanoyo mengartikan sana bukan hanya terpuji tetapi tempat (Purwadi,
2003:39).
Di antara Wali Sanga itu adalah merea Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan
Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat
yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat,
bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid (Rahimsah,
2002 : 5).
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam
penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri
sebagai “tabib” bagi kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para
kolonialis sebaagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta
karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat
Jawa yakni Hindu dan Budha (Purwadi, 2003: 73).
Tokoh wali yang sangat banyak mengandung misteri adalah Sunan
Kalijaga. Ia salah seorang wali yang mulus berdarah Jawa. Bapaknya bernama
Ari Teja, perdana Menteri Majapahit pada masa Bhre Kertabumi Brawijaya V,
yang juga menjabat adipaati di Tuban dengan gelar Ki Tumenggung
Wilwatika.
5
Sebagai penyeru agama, Sunan Kalijaga termasyur ke mana-mana. Ia
seorang mubalig keliling yang daerah operasinya sangat luas. Pengikutnya
tidak terbatas pada satu dua golongan saja. Banyak kaum bangsawan serta
kaum cendikiawan yang tertarik kepada tablignya, karena dalam berdakwah ia
amat pandai menyesuaikan diri dengan keadaan. Ia berusha mengawinkan adat
istiadat Jawa dengan kebudayan Islam, dan menjadikannya media untuk
meluaskan syiar Islam.
Dalam kisah kewalian, Sunan Kalijaga dikenal sebagai orang yang
menciptakan “pakaian takwa”, tembang-temang Jawa, seni memperingati
Maulid Nabi yang telah dikenal dengan sebutan Grebed Mulud. Upacara
Sekaten (syahadatain, mengucapkan dua kalimat syahadat) yang dilakukan
setiap tahun untuk mengajak orang Jawa masuk Islam adalah ciptaannya
(Achmad Chodjim, 2003 : 13).
Salah satu karya besarnya Sunan Kalijaga adalah menciptakan bentuk
ukiran wayang kulit yang bentuknya dirubah sedemikian rupa, sehinga tidak
menyalahi hukum Islam. Tembang-temang yang diciptakan Sunan Kalijaga
sebenarnya merupakan ajaran makrifat, ajaran mistis, dalam agama Islam.
Meski banyak tembang yang telah diciptakannya, tapi hanya tembang ilir-ilir
yang dikenal oleh masyarakat Jawa. Tembang ini diajarkan kepada anak-anak
SD di Jawa. Sudah barang tentu tembang-tembang tersebut dimaksudkan
untuk tujuan dakwah. Tembang ini sekalipun termasuk jenis “tembang
dolanan” namun bila direnungkan secara dalam, syair tersebut sangat indah
6
dan mengandung nilai dakwah Islamiyah yang tinggi nilainya (Surya Alam,
tt:3).
Pada saat ini keseniang wayang, tembang Ilir-ilir, upacara sekaten dan
gerebeg maulud masih digemari oleh masyarakat walaupun hanya sekedar
untuk ajang hiburan saja. Akibatnya seni dan budaya Jawa yang bernuansa
Islamiah ini tertinggal jauh dibandingkan dengan mdia dan teknologi modern
yang tengah merajalela. Hal ini banyak pengaruh negatif yang dapat
mencemari jiwa dan akhlak masyarakat, seperti adanya lagu-lagu barat, disco,
bioskop-film yang banyak digemari anak-anak muda sekarang. Untuk itu kita
harus melestarikan kembali seni dan budaya tersebut dengan melalui
pendekatan-pendekatan yang halus tanpa paksaan agar masyarakat menjadi
tertarik kembali.
Berangkat dari uraian tersebut diatas, penulis merasa sangat tertarik
dan berminat untuk mengadakan studi secara mendalam tentang pendidikan
Islam menurut pemikiran Sunan Kalijaga sebagai objek kajian utama dalam
penelitian. Terutama caranya berdakwah, yang dianggap berbeda dengan
metode para wali yang lain. Dia berani memadukan dakwah dengan seni
budaya yang mengakar di masyarakat. Ia tidak melakukan konfrontasi dengan
budaya yang mengakar di masyarakat. Ia tidak melakukan konfrontasi dengan
budaya masyarakat yang ada melainkan dengan “tapa geli” (mengikuti aliran
air) dengan kebiasaan yang berlaku dan memberi baju Islam atau memberi
pesan-pesan keislaman. Dengan demikian andil dan peranan Islam dalam
membentuk kebudayaan Islam di Indonesia pada masa lalu hingga sekarang
7
sangat besar, bahkan telah memberikan corak khusus bagi pendidikan Islam.
Penulis berharap agar nantinya dapat memberikan gambaran yang jelas
tentang pendidikan Islam yang tidak hanya bersifat teori tapi juga bernilai
praktis dan akhirnya dapat membantu melahirkan generasi-generasi sholeh
dan sholehah dalam mengembangkan kehidupan dunia akhiratnya di atas
landasan iman dan taqwanya kepada Allah SWT.
B. Penegasan Istilah
Untuk memberi gambaran yang jelas dan menghindari kesimpang
siuran dalam memahami arti dari masing-masing istilah serta untuk
memudahkan dalam memahami maksud dari judul ini, maka penulis
menegaskan terlebih dahulu masing-masing istilah yang terdapat dalam judul
di muka:
1. Pendidikan Islam
Menurut Mohd-Fadli Al-Djamaly (dalam Arifin, 2000 : 17)
pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada
kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai
dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarannya (pengaruh
dari luar).
2. Pemikiran
Pemikiran: bersal dari kata “fikir” yang berarti akal budi, ingatan,
kata hari, pendapat. Kata fikir jika di tambah akhiran “an” yang berarti
hasil berfikir (memikirkan) jika di tambah awalan “pe” dan akhiran “an”
8
menjadi pemikiran yang artinya cara atau hasil berfikir (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1991: 767). Yang dimaksud pemikiran dalam skripsi ini
adalah hasil dari proses berfikir yang ditampilkan dalam berbagai bentuk
yang tertuang dalam buku-buku pendidikan Islam menurut pemikiran
Sunan Kalijaga.
3. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah salah satu wali yang sangat terkenal bagi
orang jawa. Ketenaran wali ini adalah karena ia seorng ulama yang sakti
dan cerdas. Ia juga seorang politikus yang “mengasuh” para raja beberapa
kerajaan Islam. Selain itu Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai budayawan
yang santun dan seniman wayang yang hebat (Purwadi, 2003 : 150).
Kalijaga artinya yang menjaga aliran sungai. Ada yang
mengartikan kalijaga sebagai orang yang menjaga aliran kepercayaan
masyarakat pada masa itu. Sunan Kalijaga sangat halus dalam berdakwah,
dia tidak langsung menunjukkan sikap anti pati terhadap kepercayaan
masyarakat pada zaman itu, semua aliran didekati, dipergauli yang
kemudian pada akhirnya diarahkan kepada agama Islam (Surya Alam, tt,
30).
Setelah mengetahui arti dan istilah-istilah di atas, maka maksud
dari judul skripsi “Pendidikan Islam Menurut Pemikiran Sunan Kalijaga”
adalah semua hal yang penting dan berguna bagi proses pendidikan Islam
yang terdapat dalam pemikiran Sunan Kalijaga.
9
Dari pemahaman yang mendalam terhadap pemikiran tersebut
diharapkan dapat ditarik hikmah untuk dijadikan pedoman
aktivitaspendidikan, khususnya pendidikan Islam sekarang. Dengan
demikian andil dan peranan Islam dalam membentuk kebudayaan Islam di
Indnesia khususnya kebudayaan Jawa pada masa lalu hingga sekarang
sangat besar, bahkan telah memberikan corak khusus bagi pendidikan
Islam.
C. Rumusan Masalah
Dengan berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis
dapat merumuskan masalah yang akan ditelaah adalah: Bagaimana pendidikan
Islam menurut pemikiran Sunan Kalijaga?.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitiaan ini bertujuan untuk mengetahui dan meneliti lebih
dalam dan luas tentaang Pendidikan Islam Menurut Pemikiran Sunan
Kalijaga.
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi pendidikan, sebagai sumbangan terhadap khazanah ilmu
Pengetahuan Islam.
b. Bagi Dakultas Agama Islam jurusan Tarbiyah, menjadi literatur
tazmbahan dalam pendalaman pengajaran pendidikan Islam.
10
c. Bagi peneliti, dengan melakukan penelitian ini berari memperluas
wawasan dan mendalami bidang yang menjadi pilihan spesialisasinya
yaitu program Pendidikan Agama Islam.
E. Tinjaun Pustaka
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan Diwi
Rahmawati (2001) dalam skripsi dengan judul “METODE PENDIDIKAN
RASUSULLAH SAW DALAM PEMBENTUKAN PRIBADI MUSLIM”
(Tinjauan kritis Nabi periode Makkah) menjelaskan bahwa:
Pendidikan adalah satu proses dan proses tersebut pada dasarnya
merupakan keseluruhan aktivitas pendidikan yang berupaya untuk mencapai
tujuan. Satu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakekatnya
merupakan suatu perwujudan nilai-nilai yang ideal, berupaya terbentuknya
pribadipribadi manusia yang diinginkan. bAgi seorang muslim nilai-nilai itu
merujuk kepaada AL-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah saw di Makkah merupakan
suatu pendidikan untuk membentuk pribadi muslim, mereka dibina untuk
menjadi kader-kader muslim yang sejati, kader-kader yang mempunyai jiwa
perjuangan yang tinggi. Keberhasilan Rasulullah saw dalam mendidik
keluarga dan para sahabatnya ini dibantu oleh beberapa faktor antara lain :
bahwa memang ajaran Islam ini bersifat rasional dan fitrah, mudah diterima
dan dicerna oleh siapa saja yang mau berfikir secara terbuka dan transparan.
Di samping itu juga ditunjng oleh sikap dan pribadi Rasulullah saw sendiri
11
sebagai uswah hasanah baik sebelum maupun sesudah menjadi Nabi utusan
Allah SWT.
Nur Hidayah (2002) dalam skripsi dengan judul “TUJUAN
PENDIDIKAN ISLAM DALAM PRESPEKTIF AL-QUR’AN” berdasarkan
hasil penulisan ini dapat diperoleh kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam
dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
1. Dimensi Ruang dan Waktu
Sejalan dengan petunjuk Al-Qur’an, bahwa dalam kaitan dengan
dimensi ruang dan waktu ini. Secara garis besarnya pendidikan Islam
diarahkan pada tujuan utama yaitu memperoleh keselamatan hidup di
dunia dan kesejahteraan hidup diakherat. Di atas dapat dirumuskan tujuan
pendidikan Islam yang ideal dan operasional dengan ruang lingkup yang
memberikan nilai kehidupan manusia yang paripurna duniawiyah dan
ukhrowiyah yang melaksanakan tugas hidup individu dan sosial
berdasarkan perintah Allah SWT.
2. Dimensi Tauhid
Mengacu pada dimensi ini, maka tujuan pendidikan Islam
diarahkan kepada upaya pembentukan sikap takwa kepatuhan terhadap
Allah SWT. Dalam dimensi tauhid ini dinyatakan sebagai kepatuhan yang
mutlak, dengan menempatkan Allah sebaagai Dzat yang tunggal. Hanya
kepada-Nya memohon pertolongaan. Prinsip tersebut menjaadi kerangka
acuan dalam bertingkah laku, baik secara lahir maupun batin.
12
3. Dimensi Sosial
Manusia adalah makhluk sosial, dalam kaitannya dengan
masyarakat tujuan pendidikan diarahkan pada pembentukan manusia sosial
yang memiliki sifat takwa sebagai dasar sikap dan perilaku.
4. Dimensi hakekat penciptaan manusia
Berdasarkan dimensi ini, tujuan pendidikan Islam diarahkan
kepada pencapaian target yang berkaitan dengan hakekat penciptaan
manusia oleh Allah SWT. Dari sudut pandang ini, maka pendidikan Islam
bertujuan untuk membimbing perkembangan peserta didik secara optimal
agar menjadi pengabdi Allah SWT yang setia dan taat.
Rumusan tujuan akhir pada pendidikan Islam ialah mewujudkan
manusia yang berkepribadian muslim yang bulan lahiriah dan batiniah yang
mampu mengabdikan segala amal perbuatannya untuk mencari keridhoan
Allah SWT.
Layly Noorida (2001) dalam skripsi dengan judul “PEMIKIRAN
HASAN AL BANNA TENTANG PENDIDIKAN AQIDAH” menjelaskan
bahwa:
Pendidikan Aqidah yang ditanamkan oleh Al-Banna kepada setiap
anggota aktifnya adalah mewajibkan untuk mempelajari risalah tentang dasardasar
aqidah dan mengamalkannya. Disamping itu juga Al-Banna selalu
memberikan pengajaran l-Ilahiyat, An-Nurbuwwal, Ar-Ruhaniyal, As-
Samiyyat, yang semuanya itu diajarkan dan disampaikan dengan tujuan agar
13
mereka memahami Islam secara utuh dalam praktiknya, sehingga memiliki
aqidah yang bersih dan kuat.
Pendidikan Aqidah dipraktekkan dalam bentuk amal nyata seperti
sholat, membaca Al-Qur’an, zikir, doa, zakat dan sebagainya, yang semuanya
itu dilakukan berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga dapat memberi
pengaruh bagi seorang muslim pada perilakunya setiap hari.
Tujuan pendidikan Aqidah adalah membentuk kepribadian muslim,
yakni manusia yang terdidik akalnya, memiliki pemahaman yang benar
sehingga dapat membedaakan yang benar dari yang salah, memiliki cita rasa
yang dapat merasakan perbedaan antara yang baik dan yang buurk, dan tekad
kuat yang tidak melemah dan tidak luntur dihadapkan kebenaran.
Berdasarkan uraian di atas, keaslian penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan. Dan dari uraian diatas telah ada penelitian yang
hampir sama dengan penelitian yang akan dilakukan penulis, walaupun
judulnya berbeda tetapi intinya sama, maka penulis tertarik untuk meneliti
“Pendidikan Islam menurut pemikiran Sunan Kalijaga”.
Dalam peneliyian ini penulis lebih memfokuskan pada Pendidikan
Islam yang terkandung dalam pemikiran Sunan Kalijaga, yang nantinya akan
dipaparkan beberapa analisis Sunan Kalijaga dan sekaligus akan dipaparkan
pula bagaimana penulis mengamati dan menelusuri pemikirannya di sinilah
letak perbedaannya.
14
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian bibliografis
(M. Nazir, 1998 : 102) karena berusaha mengumpulkan data, menganalisa
dan membuat interpretasi tentang pemikiran tokoh, dalam hal ini adalah
pemikiran Sunan Kalijaga tentang pendidikan Islam, bila dilihat dari
tempat penelitian ini dilakukan maka penelitian ini tergolong dalam jenis
penelitian kepustakaan (Joko Subagyo, 1997 : 109). Riset kepustakaan ini
dalam rangka mencari data yang valid agar dapat digunaakan untuk
mengumpulkaan data-data yang penulis maksudkan serta pembahasan dan
penganalisaannya secara sistematis. Sedangkan pendekatan yang dipakai
adalah menggunakan pendekatan Histori Filosofis karena objek material
dari penelitian adalah pemikiran tokoh yang telah meninggal.
2. Sumber data
Karena penulisan skripsi ini dalam kategori penelitian literer, maka
seluruh data penelitian dipusatkan pada kajian buku yang memiliki
keterkaitan dengan pokok bahasan. Sumber data tersebut dapat dibagi
menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber
data primer yaitu buku karya Purwadi tentang “Sejarah Sunan Kalijaga
Sintesis Ajaran Wali Sanga Vs Seh Siti Jenar” yang berisi tentang sejarah
perjuangan Sunan Kalijaga hingga akhir hayatnya. Buku karya Widji
Saksono tentang “Mengislamkan tanah Jawa telaah atas metode dakwah
Walisongo” yang berisi tentang metode dakwah Sunan Kalijaga, alat dan
15
fasilitas dakwah. Buku karya Achmad Chodjim tentang “Mistik dan
makrifat Sunan Kalijaga” yang berisi tentang sejarah singkat Suan
Kalijaga, syariat dan belimbing. Buku karya Ridin Sofwan tentang
“Islamisasi dai Jawa Walisongo penyebar Islam di Jawa menurut
penuturan babad” yang berisi tentang sasaran dakwah, tujuan dakwah,
dan metode dakwah. Sumber data sekunder meliputi : Ilmu Pendidikan
Islam, Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah,
dan Masyarakat, Filsafat Pendidikan Islam, dan lain-lain.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara
mengumpulkan bahan-bahan bacaan atau pustaka yang terdiri dari
dokumen-dokumen, majalah-majalah, dna buku-buku yang berisi tentang
Sunan Kalijaga seperi ini disebut Metode Dokumentasi (Suharsimi
Arikunto, 199:131) yaitu mencari dan menggali data dari bahan-bahan
bacaan atau pustaka yang berkaitan dengan Pendidikan Islam menurut
pemikiran Sunan Kalijaga.
4. Metode Analisis Data
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan metode
Content Analysis atau metode Kajian Isi. Menurut Holsti dikutip dari
Moleong (2002: 163), kajian isi adalah teknik apapun yang digunakan
untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan
dan dilakukan secara obyektif dan sistematis. Content analysis memut
langkah-langkah sebgai berikut:
16
Mengklasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam suatu komunikasi
(pesan) menggunakan kriteria tertentu sebagai prediksi, selain dengan
metode analisa isi juga digunakan metode perbandingan, setelah
mengetahui langkah-langkah untuk melakukan analisis dengan
menggunakan metode di atas maka langkah-langkaah operasional yang
akan dilakukan untuk menganalisis peneltian ini adalah
mengklasifikasikan pemikiran Sunan Kalijaga tentang pendidikan Islam,
kemudian kriteria dipakai sebagai dasar klasifikasi adalah dengan
mengungkapkan kesamaan pemikiran Sunan Kalijaga atau yang
memperkuatnya dengan sumber-sumber yang berkaitan, sebagai langkah
akhir adalah membuat kesimpulan berdasarkan kriteria yang ada.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab dengan perincian sebagai
berikut:
Bab I : Pendahuluan, yang berisi tentang Latar belakang masalah,
penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II : Biografi Sunan Kalijaga, pada bab ini akan dibahas tentang
riwayat hidup Sunan Kalijaga, jasa-jasa Sunan Kalijaga, dan Khir hayat Sunan
Kalijaga.
Bab III : Pendidikan Islam menurut pemikiran Sunan Kalijaga, pada
bab ini akan dibahas tentang pengertian pendidikan Islam, sasaran pendidikan
17
Islam, dasar dan tujuan pendidikan Islam, metode dan sarana pendidikan
Islam.
Bab IV : Analisa pendidikan Islam menurut pemikiran sunan Kalijaga,
pada bab ini akan dibahas tentang pengertian pendidikan Islam, sasaran
pendidikan Islam, dan dasar dan tujuan pendidikan Islam, metode dan sarana
pendidikan Islam.
Bab V : Penutup, pada bab kelima berisi tentang kesimpulan, saransaran,
kata penutup, dan daftar pustaka.